Wednesday, December 25, 2024

Kisah nakal Eliza part 4

Eliza 4 : Semalam di Rumah Jenny

Aku kenal dengan Jenny sejak awal masuk SMA, walaupun waktu itu kami belum sekelas. Sifat Jenny yang periang membuat aku cocok sekali dengannya dan dan kami dengan cepat menjadi teman baik. Aku jadi sering mengobrol dengan Jenny setiap kami bertemu.

Jenny, anaknya cantik, tubuhnya yang sedikit lebih pendek dariku, yaitu 155 cm, terlihat sangat ideal dengan berat badannya yang cuma 41 kg. Sama seperti aku, ia juga gadis Chinese, berambut lurus, hitam dan panjang sampai ke punggung. Kulitnya putih sekali, sedikit lebih putih dariku.

Kami berdua suka saling memuji kecantikan masing masing. Kalau menurutku, ia memang cantik sekali, bahkan kokoku yang pernah melihatnya main ke rumahku juga mengatakan ia cantik, padahal kokoku termasuk cerewet untuk ukuran cewek.

Dan hari ini ia menggosip tentang adanya informasi bahwa kami akan pulang cepat.

“Eliza, kamu tahu nggak, nanti kita bakal pulang cepat nih!”, katanya dengan senyum bahagia.

“Memangnya ada apa Jen”, tanyaku penasaran.

Info yang dia dapat biasanya akurat nih, maka aku jadi senang.

“Katanya guru guru akan rapat, jadi kita akan pulang pada jam istirahat pertama”, jawabnya dengan senyumnya yang lucu, membuatku tertawa.

Kini aku menunggu dengan penasaran, apakah memang kita kita bakalan pulang pagian. Aku sudah membayangkan, akan pergi ke Tunjungan Plaza, jalan jalan atau mencoba makanan baru di sana.

Benar saja, pada waktu bel berbunyi, seperti biasa kami berdoa dipimpin oleh salah satu guru, yang waktu selesai doa, mengumumkan kalo hari ini pelajaran berlangsung setengah jam per jam pelajaran, dan kami akan pulang pada jam istirahat pertama karena guru guru akan rapat.

Artinya, 1 jam lagi dari sekarang, yaitu jam dua siang, kami bebas dari aktivitas sekolah. Jenny langsung mengiyakan ketika aku mengajaknya pergi ke Tunjungan Plaza sepulang sekolah nanti. Kami melewati dua jam pelajaran ini dengan gembira sehingga tak terasa sudah waktunya kami bersenang senang.

Jenny
Jenny
Sempat terbersit di pikiranku, untung deh hari ini nggak sampai jam terakhir, geografi yang diajar oleh pak Edy, yang kemarin Sabtu dengan tak tahu malunya ikut andil waktu aku digangbang di UKS itu. Jadi teringat, dia cepat keluar, dan penisnya lembek. Mungkin dia akan segera impoten kali?

“Hei Eliza, siang siang ngelamun, awas kesambet lho!” seru Jenny sambil menepuk bahuku dengan keras, membuat aku amat kaget.

Dengan pura pura marah aku mengejar Jenny yang kabur menghindari cubitanku. Kami akhirnya masuk ke mobilku setelah Jenny menemui sopirnya dan menyuruh bapak itu langsung pulang. Dan kami segera berangkat menuju Tunjungan Plaza.

Perjalanan itu lancar lancar saja, sampai tiba tiba ketika di jalan Basuki Rahmat entah kenapa laju mobilku jadi tersendat sendat.

“Aduh.. apaan sih? Masa mobil baru kok sudah mogokan?”, omelku dengan sebal.

“Sabar Eliza, yuk kita minggir dulu deh. Itu kebetulan di sebelah kanan ada bengkel buat mobilmu lho”, hibur Jenny.

Aku baru ingat, kebetulan di sebelah kanan ada Istana Mobil Surabaya Indah (IMSI), showroom sekaligus bengkel, tempat papaku membelikan mobil ini untukku.

Maka aku menyalakan lampu hazard mobilku, dan dengan susah payah akhirnya aku berhasil memasukkan mobilku yang jalannya tersendat sendat ini ke dalam parkiran IMSI, dan mungkin karena agak lambat, tadi sempat diiringi klakson dari mobil yang ada di belakang mobilku.

Aku menggerutu dalam hati, orang orang di belakang itu tak sabar amat sih, masa nggak bisa memaklumi mobilku yang lagi rusak.

Di dalam bengkel, aku melaporkan keluhan tentang mobilku. Yah, paling tidak reaksi mereka cukup bagus, dan segera memeriksa mobilku. Ternyata ada spare part yang rusak, tapi mereka lagi kehabisan stok, dan mereka berjanji paling lambat besok siang mobilku sudah selesai diperbaiki, karena sekarang juga mereka pesan dari Jakarta.

“Yah, Jen… hari ini pulang naik taxi deh. Nggak apa apa kan? Aduh.. kalau tau bakal begini, tadi sopirmu nggak usah disuruh balik dulu ya” kataku pada Jenny.

“Kalau gitu kamu nginap aja sekalian di rumahku Eliza. Menghemat uang taxi, dan besok kan kamu bisa kuantarkan dulu ke sini”, Jenny malah menjawab dengan ide yang menyenangkan.

Aku mengangguk senang. Kira kira sudah tiga kali aku menginap di rumah temanku ini untuk bikin tugas kelompok. Keluarganya ramah, ortunya baik denganku, juga adiknya Jenny. Jenny adalah anak tertua di keluarganya, dia punya seorang adik laki laki yang masih berumur 12 tahun, Denny namanya.

Soal baju, sama sekali tak masalah. Aku bisa pinjam bajunya Jenny, karena tubuh kami memang seukuran, mulai dari pinggul, pinggang sampai payudara kami seukuran semua. tinggi badan kami pun cuma selisih satu atau dua sentimeter Setelah membereskan administrasi, aku dan Jenny nggak jadi ke Tunjungan Plaza, tapi kami langsung pulang menuju rumahnya dengan naik taxi.

-x-

II. Di Rumah Jenny
Kami tiba di rumah Jenny sekitar jam tiga sore. Jenny menekan bel pintu rumahnya, dan tak lama kemudian seorang pria yang mirip tengkorak hidup sangking kurusnya, muncul dari dalam dan membuka pintu untuk kami.

“Pak, papa mama ada?”, tanya Jenny ketika pintu rumahnya itu sudah terbuka.

“Baru pergi semua non”, jawab orang itu cepat.

“Ke mana?”, tanya Jenny lagi.

“Katanya tadi mengantar Denny ke dokter gigi”, jawab si tengkorak hidup itu.

“O… ya udah makasih pak”, kata Jenny yang lalu mengajakku masuk ke dalam.

Ketika kami sedang melepas sepatu dan kaus kaki, Jenny tertawa dan bercerita padaku, tadi sebelum pergi ke sekolah, ia melihat adiknya menangis sambil memegangi pipinya.

“Ih… kok diketawain sih? Kan kasian sakit gigi gitu”, aku mengomel pada Jenny.

“Habis tadi itu tampang adikku lucu sekali deh. Eh Eliza, sambil menunggu mereka pulang, kita nyantai di kamarku yuk!”, ajak Jenny sambil menggandeng tanganku.

Aku menurut saja, dan sesaat kemudian kami sudah asyik di dalam kamar Jenny.

Musik kesukaan Jenny yang kebetulan juga kesukaanku mengalun lembut. Sambil melihat lihat koleksi CD lagu milik Jenny, beberapa kali aku dan Jenny mengobrol tentang lagu favorit dan artis penyanyi kesukaan kami masing masing.

Jenny sedang bersantai di ranjangnya sambil membaca majalah, ketika aku merasa ingin buang air besar.

“Jen… aku mesti ke WC nih”, aku mengeluh pada Jenny

“Ya udah ke sana aja, kamu udah tau tempatnya kan” kata Jenny santai.

Aku mengangguk dan segera pergi ke WC yang letaknya tak jauh dari kamar Jenny ini.

“Eliza, nanti kamu tunggu di kamarku ya. Aku mau beres beres rumah dulu, hari ini kebetulan pembantu di rumahku lagi pulang nih”, tiba tiba aku mendengar suara Jenny selagi aku masih ada di dalam kamar mandi ini.

“Iya Jen”, jawabku dengan suara yang cukup keras untuk memastikan Jenny mendengar jawabanku.

Setelah aku selesai buang air, aku segera kembali ke kamar Jenny, dan melanjutkan melihat lihat koleksi CD lagunya. Aku begitu asyik memilih milih koleksi Jenny itu ketika tiba tiba jam dinding di kamar Jenny berbunyi menunjukkan pukul 16:00.

Tiba tiba aku jadi merasa nggak enak. Masa aku diam saja bersantai santai di dalam kamarnya Jenny, sementara Jenny lagi bersih bersih rumah?

Maka aku keluar mencari Jenny untuk membantunya. Selain itu nggak enak juga kan ditinggalkan sendiri di kamar orang lain seperti ini?

Aku mencari Jenny di semua ruangan rumahnya yang besar ini, cukup lama, tapi tak kunjung menemukan Jenny. Ia seperti menghilang saja. Aku melihat toilet, kosong. Mau membuka kamar adiknya atau ortunya, segan juga. Kucari dia di ruang makan dan beberapa ruangan lain yang sekiranya tak ada unsur privacy, juga tak ada.

Kini tinggal sebuah ruangan, yang dari dalamnya kudengar ada suara yang cukup gaduh. Aku berpikir, mungkin saja Jenny ada di dalam sana, sedang melihat pekerjaan para buruh sandal itu.

Orang tuanya Jenny memang membuka usaha produksi sandal jepit di rumah, dan jam kerjanya antara jam delapan pagi sampai jam enam malam.

Aku pernah melihat mereka. Ada lima orang yang bekerja di belakang sana. Aku ingat dua orang di antara mereka tubuhnya tinggi besar dan kekar, mungkin tinggi mereka hampir 185 cm.

Mereka berdua itu adalah Supri dan Umar. Aku mengetahui nama mereka berdua ini waktu papanya Jenny memanggil mereka untuk bantu mengangkat sebuah mesin, entah mesin apa, ke sebuah mobil pickup.

Kulit mereka berdua ini sama sama begitu hitamnya. Bau badan mereka nggak usah ditanya lagi, sama memusingkannya deh dengan bau tiga pejantan di rumahku kalau mereka lagi keringatan. Dan wajah mereka berdua ini, ampun deh, benar benar kacau.

Wajah Supri itu agak mengerikan, dengan penuh bopeng di hampir seluruh wajahnya yang memang sudah amat jelek itu, jadi sebenarnya bopeng bopeng ini cuma membuat wajah Supri ini sedikit lebih jelek saja. Bisa kan bayangkan betapa amburadulnya?

Dan tentang Umar, kira kira monyongnya mulutnya itu membuatnya mirip monyet kali. Kulit wajahnya juga bopeng, tapi tak sampai separah Supri. Walau begitu, hal ini tak menolong sama sekali, tetap saja wajah itu begitu jelek di mataku, benar benar nggak penting untuk dilihat deh.

Dan tiga rekannya yang lain aku juga pernah melihat. Aku tak tahu nama mereka, tapi yang jelas wajah mereka bertiga ini tak lebih baik dari kedua orang yang kutahu namanya ini. Ada yang giginya tongos, mirip Boneng, cuma yang ini lebih parah kali ya.

Tubuhnya tak begitu besar, juga tidak tinggi, tapi bulu bulu badannya amat lebat menjijikkan seperti gorilla saja. Yang satunya lagi, rambutnya gundul plontos, bibirnya seperti sumbing. Gendut lagi, perutnya buncit juga. Aduh… orang ini kalau berjalan, perutnya bergoyang goyang seperti sebuah kantung lemak yang diayun ayunkan, mengerikan lah pokoknya.

Lalu, orang yang terakhir ini tak kurang ‘spektakuler’. Kontras dengan si gendut tadi, orang ini bertubuh amat kerempeng, tulang tulangnya seperti menonjol menegaskan kekurusannya, sekilas terlihat seperti sudah tua dan penyakitan.

Padahal menurut Jenny orang itu usianya baru 32 taun, tapi menurutku orang itu terlihat seperti sudah umur 45 taun lebih gitu. Sudah begitu sama plontosnya, tapi kumisnya tebal sekali. Kedua matanya amat besar, kalau dilihat lihat lagi, sekilas mirip tengkorak hidup berkumis.

Aku sering merasa tak nyaman jika berada di sekitar mereka. Pernah aku diajak ortu Jenny melihat lihat tempat produksi sandal di belakang rumah ini, setelah aku diberi sepasang sandal fashion dari salah satu produknya. Aku terpaksa ikut melihat lihat, nggak enak kan kalo nggak ikut? Dan waktu di tempat produksi itu, kurasakan tatapan mata mereka berlima itu, penuh nafsu, seolah ingin menelanjangiku.

Risih sekali rasanya dipandangi oleh mereka. Dan aku teringat tadi, si tengkorak hidup yang membuka pintu ketika kami pulang tadi, ia sempat menatapku dan Jenny seperti akan menelan kami berdua bulat bulat, sementara Jenny sempat terlihat agak canggung juga.

-x-

III. Menuju Malapetaka
Aku bimbang antara mencari Jenny atau kembali saja ke kamar menunggunya. Akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri untuk mencari Jenny ke dalam sana, toh selama ini mereka tak pernah berbuat macam macam.

Lagian, aku kan cuma masuk sampai ke pintu, melihat apakah Jenny ada di dalam.

Maka aku masuk membuka pintu itu, dan aku baru ingat kalau aku harus masuk lebih dalam untuk bisa melihat situasi ruang produksi itu. Ketika aku sudah di dalam, aku melihat pemandangan yang benar benar hampir membuat jantungku berhenti berdetak.

Empat orang laki laki yang bekerja di situ memang terlihat bekerja seperti biasa. Tapi dengan pandangan tak percaya, aku melihat Supri sedang menggenjot Jenny yang masih memakai seragam sekolah, walaupun Jenny sudah tidak mengenakan rok dan celana dalam yang sudah tercecer di lantai.

Jenny terlihat begitu pasrah, tampaknya mereka sedang melakukan quicky sex, dan tak menyadari keberadaanku di tempat produksi ini. Sementara empat orang yang sedang bekerja itu seperti tak perduli dengan persetubuhan yang dilakukan Jenny bersama Supri

Seakan memang sudah takdir, tiba tiba angin bertiup begitu kencang dan membuat pintu di belakangku, satu satunya tempat untuk keluar dari tempat ini, tertutup keras, membuat mereka semua menoleh ke arahku.

Tentu saja harusnya mereka menoleh ke pintu, tapi kini perhatian mereka semua tertuju padaku, terutama Jenny yang kulihat begitu pucat, mulutnya ternganga, tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku seolah tak percaya aku ada di sini.

Setelah beberapa detik, aku tersadar akan bahaya yang mengancamku sekarang ini. Aku berpikir kalau aku harus mencari bantuan, mungkin dari warga sekitar atau siapapun untuk menyelamatkan diriku, juga demi menyelamatkan Jenny.

Dengan panik aku memutar handel pintu itu, entah kenapa kali ini rasanya sulit sekali terbuka, membuat semua sudah terlambat bagiku untuk menyelamatkan Jenny, apalagi menyelamatkan diri.

Tubuhku yang mungil ini disergap oleh empat orang lelaki yang mengerikan ini, kedua tanganku sudah ditelikung ke belakang seperti polisi yang hendak memborgol penjahat tangkapannya.

“Aduuuh… sakiiit…”, aku merintih kesakitan.

Tentu saja tak ada yang perduli, dan mereka menggiringku masuk ke dalam, sambil meraba dan meremas payudara dan pantatku. Aku hanya bisa meronta panik, namun jelas tidak ada artinya. Selain rontaanku memang tak begitu kuat karena rasa sakit yang mendera pangkal lenganku, seandainya aku tidak sedang ditelikung begini pun aku tahu tak akan sanggup berbuat banyak menghadapi para buruh yang sudah seperti kerasukan iblis ini.

“Jangaan.. jangan temankuu.. lepaskan dia.. bajingan kalian semuaaa…. Jangan Eliza…”, Jenny yang berteriak panik meronta, berhasil melepaskan diri dari Supri yang tak terlalu konsentrasi mendekapnya, dan menerjang ke arahku yang sedang dalam cengkeraman empat orang buruh ini.

Jenny dengan buas menghantam si gorila yang meremas payudaraku hingga begundal itu kesakitan, melepaskan remasannya pada payudaraku yang kanan sambil menyumpah nyumpah. Berikutnya aku sampai tertegun melihat Jenny sudah akan menghantam si tengkorak hidup yang meremasi payudaraku yang kiri ini.

Tapi tiba tiba tangan Jenny sudah ditahan oleh si gorila yang tadi dihantam Jenny pertama kali, kini sudah tertelikung dengan mudahnya, dan sebuah pisau yang biasanya digunakan untuk memotong tali pengikat karung, sudah menempel di leher Jenny.

Supri menodongkan pisau itu dengan sikap yang mengancam sekali.

“Jangaaan… kalian jangan lukai Jenny… baik… baik… aku menyerah. Tapi lepaskan pisau itu ya… tolong… jangan lukai Jenny… aku akan melayani kalian, sungguh…”, aku memohon dan mulai menangis ketakutan.

Dalam kepanikanku, tadi aku berusaha memberikan penawaran sebagus mungkin, yaitu pelayananku yang otomatis juga berarti tubuhku, supaya mereka tidak mencelakai Jenny.

“Tolong… lepaskan Eliza.. dia gadis baik baik, masih perawan.. jangan rusak dia.. cukup aku saja… tolonglah…”, Jenny kini menangis tersedu sedu, dan berkata di antara isak tangisnya.

“Jen, nggak apa apa Jen, aku sudah nggak virgin kok Jen”, aku berkata lemah.

Jenny memandangku tak percaya, sementara lima orang yang menguasai kami ini tertawa menjijikkan.

“Wah jaman sekarang ini memang susah ya cari amoy perawan. Tapi gak apa apa, yang ini.. siapa namanya tadi? Eliza? Kamu cantik sekali, nggak kalah sama anak majikan kami”, kata Supri sambil mencolek daguku, membuatku hampir muntah betulan sangking jijiknya.

Sudah wajah amburadul gitu, masih bisa bisanya dia menghinaku. Memangnya dia itu siapa sih?

“Teman teman, sekarang waktunya pesta amoy dulu. Ayo cepat kita mulai, waktu kita tidak banyak, kira kira jam setengah tujuh malam nanti majikan kita sudah pulang, dan kita akan lembur selesainya acara pesta amoy ini, supaya bos tetap puas dengan kerja kita”, sambung Supri dengan gayanya yang menjijikkan, mungkin ia yang paling berkuasa di antara para buruh ini.

“Eliza.. maaf ya… Aku harusnya tidak mengajakmu menginap hari ini, maafkan aku ya Eliza”, kata Jenny yang terlihat merasa sangat bersalah.

“Jen, nggak perlu minta maaf Jen.. bukan salahmu kok Jen.. Kamu kan sudah menyuruhku menunggu di kamar, aku sendiri yang keluar mencari kamu…” aku berusaha mengibur Jenny, walaupun aku berada dalam situasi yang sama dengannya.

-x-

IV. Pembantaian Di Rumah Jenny
Jenny terlihat lemas saat kami digeret ke mess tempat para buruh ini tidur. Aku melihat ada lima ranjang berukuran tanggung, untuk ukuran satu orang saja. Ranjang ranjang itu berjajar dua dan tiga. Hawanya tidak terasa pengap, mungkin karena ukuran ruang tidur yang besar ini.

Kini kami berdua sudah sepenuhnya berada dalam cengkraman lima orang buruh ini. Dalam hitungan detik, aku dan Jenny sudah ditelanjangi bulat bulat, pakaian kami sudah berserakan di lantai. Mereka pun sudah bertelanjang bulat, siap memangsa dua amoy cantik yang menjadi idola di sekolah kami.

Memang selain aku, Jenny juga salah satu bunga yang menjadi incaran para kumbang jantan di sekolahku.

Acara pesta amoy ini dimulai oleh Supri dan Umar yang mendekati aku, sementara tiga orang yang lain memegangi Jenny yang masih terlihat tak terima melihatku jatuh ke tangan buruh buruhnya.

Aku sempat melihat jam di kamar ini, yang menunjuk pukul empat lebih lima belas menit. Baru lima belas menit berlalu sejak aku mencari Jenny sampai tertangkap para begundal ini. Entah sampai kapan mereka akan menikmati tubuh kami.

Tapi aku tak punya banyak waktu untuk melamun, remasan tangan Umar yang kekar dan penuh tenaga pada kedua payudaraku dari belakang memaksa tubuhku menggeliat kesakitan. Tubuhku seolah didekap Umar dari belakang, ia sibuk menghirup harumnya bau rambutku, geli juga aku dibuatnya.

Supri mendekati kami sampai akhirnya aku terhimpit di antara tubuh kekar dua orang buruh ini, lalu dengan santai ia meremas kedua pantatku.

Oh.. aku mulai terangsang. Kini jantungku berdetak cepat bukan karena takut, tapi karena nafsu birahi yang mulai melanda tubuhku ketika kedua orang ini seolah olah sedang memperebutkan tubuhku, dan aku merasa begitu sexy.

Tapi tetap saja aku terpaksa menolehkan kepalaku yang sempat terbenam di dada Supri yang bidang. Bau tak sedap yang menyeruak hidungku membuatku harus melakukan ini karena aku masih tak ingin muntah.

Saat itu aku bertatapan dengan Jenny, yang terlihat menyesal dan menatapku dengan berurai air mata, seolah ingin meneriakkan kata maaf.

Aku menatapnya ingin mengatakan kalau aku tak menyalahkan dia karena ini memang bukan salahnya, tapi gelora lautan birahi sudah menghantamku, aku sudah hampir terhanyut sepenuhnya. Maka aku hanya bisa menatapnya sayu sambil menggelengkan kepalaku, semoga dia mengerti.

Kini aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi, karena bibir vaginaku sudah diraba lembut oleh Supri. Ia begitu pandai merangsangku, tak lama kemudian cairan cintaku sudah mulai keluar sedikit. Aku mulai mendesah dan menggeliat, tapi ini membuatku lebih terangsang lagi, karena kulit tubuhku bergesekan dengan tubuh kedua buruh bejat ini yang kulitnya terasa begitu kasar.

“Nggghh…”, aku melenguh ketika jari tangan Supri tercelup masuk ke dalam liang vaginaku

Ditambah dengan pelintiran pada kedua puting susuku oleh Umar, rasa sakit sakit nikmat yang terus menyiksaku dari tadi, sudah membuatku hampir orgasme.

Aku mulai mengejang keenakan, diiringi tawa mereka yang harusnya terdengar menjijikkan, tapi aku sudah tak perduli, atau lebih tepatnya sudah tak bisa perduli. Tubuhku memang lebih jujur dari aku, cairan cintaku rasanya mengalir lebih banyak saat aku terus menerus dirangsang seperti ini.

Nikmat ini sudah mengalahkan akal sehatku. Aku sudah takluk oleh kedua buruh bejat ini, yang status sosialnya sama sekali tak sederajat denganku.

Kedua orang ini semakin bernafsu menggumuliku. Dan akhirnya Supri sudah bersiap siap untuk melakukan serangan pertama. Aku melihatnya mengocok penisnya sebentar, dan aku memperhatikan seperti ya apa penis yang akan segera mengaduk aduk liang vaginaku ini?

Penis itu sudah mengacung tegak, besar, agak bengkok ke atas mendekati pusar perutnya. Pusar perutnya?? Baru aku tersadar, oh… penis ini panjang sekali. Aku terbelalak ngeri, gairahku langsung padam.

Gila, ini sih lebih panjang dari punya Urip, satpam yang mengeroyokku di UKS kemarin lusa. Diameternya pun tak main main, seimbang dengan kepunyaan sopirku. Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku, seolah berkata jangan, dan Supri hanya tertawa terbahak bahak melihat reaksiku.

Aku meronta tanpa daya ketika ia menyergap tubuhku, kedua pahaku diangkatnya sampai aku sedikit lebih tinggi darinya, kemudian penisnya yang ternyata amat kaku itu tak perlu ia bimbing untuk menembus liang vaginaku.

Baru masuk sedikit saja, aku sudah menggeliat kesakitan, namun aku tak bisa kemana mana, tubuhku ditahan oleh Umar yang ada di belakangku.

“Nnggggh… oooohh… ampuuuun paaaak…”, aku melenguh dan mengerang kesakitan saat penis itu sudah menancap setengahnya.

Supri hanya menertawakku. Tiba tiba aku terbelalak, kurasakan anusku tertempel sesuatu, kiranya penis Umar yang juga sudah siap membobol liang anusku.

Tak ada yang bisa kulakukan, aku tahu memohon supaya Umar tak meneruskan niatnya adalah hal yang sia sia. Aku langsung lemas, pasrah bersiap menerima semua penderitaan yang akan menderaku.

“Heeeengggghh… aduuuuuh… sakiiiit…”, aku merintih.

“Non Eliza, tenang saja. Senjataku sudah aku beri yang licin licin. Tadinya buat non Jenny, tapi sekarang buat non Eliza saja. Kan non Eliza jadi mainan baru kami sekarang. Tapi nanti non Eliza pasti nagih lho”, bisik Umar dengan nada yang menjijikkan.

Ingin aku menamparnya, kurang ajar betul kata katanya tadi barusan, tapi tak ada keberanian untuk melakukan itu. Tak tahu penis Umar ini seperti apa, yang jelas tubuhku rasanya dirobek jadi dua bagian ketika penis penis itu semakin dalam menembus liang vagina dan liang anusku.

Dengan beberapa kali hentakan, akhirnya kedua penis itu menancap sempurna, dan mereka mengerang karena penis mereka terjepit kedua liang kenikmatanku yang masih sangat sempit ini. Sedangkan aku merintih rintih kesakitan, tapi tak ada rontaan yang kulakukan.

Aku belum gila untuk melakukan itu, selagi liang vagina dan liang anusku terasa sangat penuh seperti akan robek.

Rasa sakit yang menghantam selangkanganku ini benar benar menyiksaku. Apalagi ketika Supri mulai menggerakkan penisnya sedikit, sedikit dan akhirnya mulai memompa liang vaginaku. Aku menggeleng gelengkan kepala kuat kuat, rasanya ingin pingsan saja.

Di tengah penderitaan ini, samar samar kudengar Jenny kembali memohon pada mereka untuk menghentikan semua ini.

“Non Jenny, kalau non iri biar kami bertiga yang memuaskan non sekarang”, kudengar suara yang menjawab permohonan Jenny itu.

Jenny terdiam, dan aku bisa melihat Jenny tak bereaksi sama sekali ketika tiga orang yang menahannya itu mulai mengerubutinya. Jenny terus melihatku dengan tatapan sedih, membuat aku jadi terharu. Air mataku mengalir pelan di pipiku. Ia masih memikirkan nasibku selagi dirinya juga bernasib tak kalah buruk dibanding diriku.

“Lhoo, amoy kita menangis nih”, ejek Supri.

“Masih sakit ya? Kontolku dan kontol Umar kegedean ya buat memek Non? Sudah tak perawan kok masih seret gini Non? Kapan kehilangan tuh perawan? Masih baru ya?”, Supri terus menghinaku.

Aku membuang muka, tak sudi memperlihatkan wajahku pada buruh bejat ini.

Aku berusaha bertahan dari rasa sakit yang luar biasa pada liang vaginaku, dan aku sudah berada dalam keadaan antara setengah sadar dan tidak. Tiba tiba Umar menggantikan Supri memegang pahaku, hingga payudaraku sementara bebas dari remasan dan pelintiran tangan jahil Umar.

Supri kemudian mengarahkan wajahku ke hadapannya dengan kasar, karena sejak tadi aku selalu membuang muka, membuat keinginan Supri untuk melumat bibirku sejak tadi tak pernah berhasil. Aku memejamkan mata, berusaha tak melihat wajah amburadul dari orang yang kini sudah melumat bibirku dengan ganas.

Cairan cinta di dalam liang vaginaku bertambah banyak, seolah mengerti kalau harus melumasi dinding liang vaginaku yang sedang dipompa sebuah penis besar.

Entah kenapa, rasa sakit di liang anusku mulai berkurang, padahal aku tak merasa genjotan itu berkurang, malah mungkin makin gencar. Mungkin anusku sudah mulai bisa beradaptasi menerima sodokan sodokan penis yang tadinya begitu menyiksaku.

Aku tak bisa bernafas ketika lumatan pada bibirku itu semakin ganas. Tanganku yang sejak tadi terjuntai lemas menunjukkan kepasrahanku, kini kupakai mendorong muka Supri.

Tapi pagutannya itu tidak lepas juga hingga aku makin tersiksa karena kehabisan nafas, dan aku memukul mukulkan tanganku pada bahunya itu.

“Aahh… uhuuk…” aku terbatuk batuk dan sebisa mungkin bernafas ketika akhirnya Supri melepaskan pagutannya pada bibirku.

Dengan nafas tersengal sengal, aku bersandar pada bahu Umar yang ada di belakangku. Lemas sekali rasanya dipermainkan dua begundal ini. Seiring dengan lenyapnya rasa sakit di liang vaginaku dan juga liang anusku, aku mulai bisa merasakan nikmat dari pompaan penis penis itu di selangkanganku.

Perlahan, gairahku kembali naik, nafasku mulai memburu. Jantungku kembali berdetak lebih kencang, bahkan kini aku sudah tak mendapatkan masalah ketika tubuhku sedikit menggeliat keenakan. Benar benar aneh, rasa sakit itu memang masih ada, tapi sudah hampir hilang.

Kini yang terasa olehku hanyalah rasa nikmat akibat teraduk aduknya liang vagina dan liang anusku oleh penis penis yang besar ini. Aku tak tahu kalau hal ini membuat Jenny takjub melihat ketahanan tubuhku, karena ternyata dulu ia sampai pingsan pingsan saat pertama kali diperkosa oleh para buruhnya ini, yang nanti akan ia ceritakan padaku setelah pembantaian ini selesai.

Dan rasa nikmat yang kuterima ini makin lama makin menjadi. Aku mulai merasakan ngilu yang nikmat pada kedua liangku ini.

“Ngghhh… ohhh…. Oooh…aduuuh… auuh… nggghhh”, aku melenguh dan melenguh, akhirnya tubuhku mengejang hebat.

Aku orgasme dalam sandwich-an Supri dan Umar di udara. Kakiku melejang lejang, tubuhku menggeliat dan tersentak sentak sampai tertekuk tekuk ke belakang, urat leherku rasanya menegang, sungguh nikmat yang luar biasa, walaupun ini bukan multi orgasme.

Cairan cintaku membanjir dan semakin melumasi penis Supri yang jadi semakin lancar menerjang dan memompa liang vaginaku. Aku tak tahu sudah berapa lama berada dalam dekapan kedua orang ini, tiba tiba Umar menggeram dan kurasakan tubuhnya sedikit berkelojotan.

“Oh… nooon Eliizaaa… enaaknya…”, racau Umar.

Penisnya berkedut kedut, lalu menyemprotkan sperma dalam liang anusku. Tak terlalu banyak, tapi terasa begitu hangat dan nyaman, seolah menghapus rasa sakit yang sempat mendera liang anusku dengan kejam.

Penis Umar memang mengecil dan terus mengecil, tapi sampai semenit aku dipompa oleh Supri yang kelihatannya juga akan orgasme, penis Umar belum juga lepas dari anusku.

Rasanya penis Umar itu masih lebih panjang dari penisnya pak Edy wali kelasku. Bahkan dalam keadaan begini pun masih lebih keras. Aku jadi semakin yakin, pak Edy itu mengalami gangguan ereksi. Tak salah jika waktu itu Girno cs mentertawakan pak Edy.

Tapi yah… apa perduliku?

Tiba tiba penis Supri berkedut membuyarkan lamunanku, membuatku memeluk lehernya. Supri akan orgasme, takutnya ia menjadi lemas dan aku bisa terjatuh jika Umar melepaskanku. Reflek kakiku juga kulingkarkan pada pinggangnya, hingga pegangan Umar pada pahaku terlepas, juga penisnya yang semakin kecil tertarik lepas dari anusku yang langsung terasa lebih lega.

Supri menggeram, penisnya yang tertanam makin dalam pada liang vaginaku membuatnya tak tahan lagi, dan menyemprotkan spermanya dengan gencar. Tangannya mendekap pinggangku erat, membuat aku kembali merasa kesakitan, untungnya hanya sebentar.

Supri melepaskan penisnya, dan mendudukkan aku di ranjang, di sebelah ranjang tempat Jenny dikerubuti tiga orang buruh tadi. Aku memegangi bibir vaginaku yang liangnya tadi serasa dirobek robek oleh penis penis raksasa yang menghunjami liang vaginaku ini.

Tapi lama lama sakitnya tak begitu terasa lagi, kini aku mengistirahatkan tubuhku di ranjang itu, aku tiduran sejenak untuk mengatur nafasku. Jangan tanya keringatku, begitu basahnya tubuhku bahkan sampai rambutku basah kuyup seperti baru keramas saja.

-x-

V. Pembantaian Itu Berlanjut
Jam sudah menunjuk pukul lima sore. Ini berarti sekitar setengah jam aku digenjot habis habisan oleh dua raksasa tadi.

Tapi semangat para buruh yang bahagia ini masih menyala nyala. Kulihat Jenny sudah larut juga dalam keroyokan tiga buruhnya, mereka mempermainkan Jenny yang terus mengejang sampai akhirnya orgasme.

“Hnnnggghh.. aaduuuuh… ooohhh..”, Jenny melenguh lenguh dan tubuhnya itu mengejang sexy.

Ternyata Jenny mirip juga denganku kalau lagi orgasme, kakinya juga melejang lejang, tubuhnya sedikit tersentak sentak. Ia juga melenguh sexy, melepaskan gejolak nikmat yang pasti sedang menjalari sekujur tubuhnya itu.

Kini, si Boneng yang akhirnya kuketahuhi bernama Satrio, mengambil posisi di selangkangan Jenny, bersiap untuk melakukan penetrasi ke nona majikannya. Sementara dua buruh yang lain, meninggalkan Jenny dan mendekatiku.

Oh.. ternyata mereka berdua menginginkan aku. Aku hanya bisa pasrah saat si tengkorak hidup yang ternyata bernama Rahman, sudah memposisikan dirinya di selangkanganku. Kuperhatikan penisnya yang kurus itu, panjangnya tak terlihat menakutkan bagiku.

Lenguhan Jenny kembali terdengar, rupanya Satrio sudah mulai menggenjot tubuhnya. Entah mengapa, Jenny terlihat amat menggairahkan bagiku, ketika aku melihat tubuhnya yang mulai mengkilap karena berkeringat.

Sesekali tubuh Jenny yang mungil itu tersentak kecil, saat penis Satrio menghunjam dalam dalam hingga terbenam seluruhnya pada liang vagina Jenny.

Erangan sexy dari Jenny itu pasti menyulut gairah lelaki manapun, sementara Jenny memandangku dengan sorot matanya redup dan sayu, menunjukkan kalau dia sendiri sedang larut dalam birahi. Entah kenapa jantungku berdegup kencang melihat tatapan mata Jenny itu.

Tapi aku tak bisa lama lama melihat keadaan Jenny, karena si buntalan lemak yang ternyata bernama Harto itu, dengan bibirnya yang sumbing, sudah menubruk tubuhku yang telentang lemas di ranjang, dan dengan bernafsu sekali Harto memagut bibirku dengan bibirnya yang sumbing itu.

Oh.. aku ingin menjerit dan melarikan diri menghindar dari makhluk yang sangat menjijikan ini, tapi kakiku sudah direntangkan oleh Rahman, dan aku tak bisa berbuat apa apa ketika selagi Rahman melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku.

Harto terus melumat bibirku dan melesakkan lidahnya mencari lidahku, hingga air liurnya yang bau, dan celakanya banyak itu, mengalir cukup deras ke dalam mulutku.

Aku jadi gelagapan dan daripada tersedak aku terpaksa menelan air liur itu. Rasa air liurnya itu… tak perlu aku bahas lagi, menjijikkan tak karuan, membuatku ingin muntah.

Tangan kananku terjepit perut gendut Harto hingga tak bisa bergerak, sementara tangan kirinya menahan kepalaku hingga aku tak mampu menggerakkan dan menolehkan kepalaku untuk menghindar dari terkamannya.

Dan ketika ia melihat tangan kiriku yang menggapai gapai seolah sedang mencari pegangan, dengan kejam pergelangan tanganku yang mungil ini dicengkramnya dan ditahan kuat kuat di atas kasur hingga aku tak bisa menggerakkan tangan kiriku lagi.

Kini aku sudah tak berdaya dan hanya bisa pasrah, tapi herannya malah membuat aku merasakan sensasi yang membuat jantungku berdegup kencang. Perasaan tak berdaya ini membuat aku tanpa sadar menyerahkan diri sepenuhnya.

Aku memejamkan mata, perlahan berusaha menikmati pagutan pada bibirku, karena bagiku merasa diperkosa adalah hal yang tidak menyenangkan. Daripada aku merasa tersiksa, mungkin lebih baik jika aku membiasakan diri dan menerima semua ini dengan rela.

Lidahku mulai kutautkan pada lidah si sumbing ini. Aku sempat melihat dari ekor mataku, Rahman melongo iri melihat apa yang terjadi di depan matanya, mungkin karena ia sedang melihat pemandangan yang langka baginya, ketika seorang amoy SMA sepertiku membalas cumbuan seorah buruh sumbing yang wajahnya tak karuan.

Tapi sebuah kotak plastik kecil tempat menaruh kantung plastik untuk bungkusan sandal hasil produksi di home industi Jenny yang melayang dan mengenai kepala Rahman itu seolah membuatnya tersadar, dan Rahman menoleh ke arah pelemparnya.

Umar tertawa ngakak, dan Rahman marah marah.

“Enak enak liat amoy konak, kepala kena ginian”, omelnya sambil memegang kotak plastik itu, lalu membuang ke lantai dengan kesal.

Kemudian Rahman memulai aktivitasnya kembali. Kedua kakiku diangkatnya dan ditumpangkan ke pundaknya, dengan ini sodokan penisnya akan terasa makin dalam. Rahman segera memompa penisnya, mungkin rasa kesal akibat ulah Umar tadi membuatnya menyodokkan penisnya dengan gencar.

Penis yang kecil itu mengaduk liang vaginaku yang penuh cairan cintaku bercampur sperma Supri, menimbulkan bunyi kecipak yang semakin menambah gairahku dan aku sudah bisa balas memagut bibir si sumbing ini yang tadinya amat menjijikan bagiku.

Harto seakan tak puas puasnya melolohi aku dengan air liurnya, sementara aku harus menelan semuanya jika tak ingin mulutku penuh dengan air liur, apalagi sampai tumpah keluar dari mulutku, akan lebih menyusahkanku.

Sementara itu aku hanya bisa sedikit menggerakkan pinggulku mencari kenikmatan lebih pada liang vaginaku yang sedang diaduk aduk oleh penis milik Rahman ini.

Akhirnya si sumbing puas juga menciumiku. Ia duduk diam sejenak mengatur nafasnya yang tersengal sengal, perutnya terlihat naik turun mengikuti tarikan nafasnya, benar benar membuatku kembali merasa jijik. Setelah beberapa saat, Harto menaiki tubuhku, dan menindih payudaraku.

Ya ampun, gajah bengkak ini tak sadar apa kalau tubuhnya berat sekali?

Nafasku sampai mulai sesak, dadaku tergencet sampai serasa gepeng. Ia menyodorkan penisnya yang sudah ereksi kencang itu ke hadapan wajahku, untuk mendapatkan servis oral dariku tentunya.

Tapi ukurannya ini membuat ketawaku hampir meledak. Kecil sekali, mengingatkanku pada penis mungil milik pak Edy, wali kelasku yang bejat itu. Benar benar tak sesuai dengan tubuhnya yang besar hingga penis itu terlihat semakin kecil saja.

Dengan menahan tawa, aku mulai mengoral penis mini ini. Sementara itu, selangkanganku terasa makin nikmat dipompa oleh penis Rahman yang memang tak terlalu besar ini, tapi cukup untuk membuat aku sedikit melayang, apalagi dadaku dihimpit oleh pantat si gendut sumbing ini, yang awalnya mendatangkan rasa sesak, tapi lama kelamaan malah terasa sedikit nikmat.

Rasa sakit kadang menjalar dari liang anusku yang tadi dibobol penis Umar. Rasa itu memang sedikit mengganggu, tapi malah mendatangkan sensasi tersendiri bagiku. Tanganku mencengkram sprei tanda aku sedang dilanda kenikmatan yang semakin memuncak. Akhirnya aku orgasme, tubuhku mengejang, namun tak ada sentakan sama sekali.

Tubuhku yang mungil ini tak bisa bergerak dihimpit gajah bengkak yang duduk di payudaraku, sementara kakiku yang tertahan di pundak Rahman hanya bisa melejang kecil. Cairan cintaku dan keringatku yang terus keluar sudah tak bisa membuat tubuhku terlihat lebih basah.

“Ooooh… memeknya amoy.. memang nikmaaaat…”, Rahman meracau keenakan, mungkin karena otot liang vaginaku yang berdenyut denyut itu seperti memijat batang penisnya yang terbenam di dalam sana.

Tubuh Rahman bergetar, ia menggeram dan menyemprotkan spermanya yang cukup banyak ke dalam liang vaginaku.

Aku yang sudah larut sepenuhnya dalam birahi ini jadi lepas kontrol. Ketika Rahman menarik lepas penisnya dari liang vaginaku dan berjalan di samping ranjang tempat aku dilanda kenikmatan ini, aku menjangkau tangannya dan menarik ke arahku.

Kulumanku pada penis si Gendut kulepas, dan aku memandang Rahman dengan tatapan sayu, menariknya semakin dekat hingga ia terpaksa naik ke ranjang dengan dan menatapku dengan pandangan bertanya tanya.

Aku menjawab dengan memegang penisnya yang masih belepotan spermanya sendiri yang bercampur dengan cairan cintaku, lalu aku menarik penis itu ke arah mulutku.

“Oalah non… kalau doyan peju, bilang saja terus terang. Nih silakan menikmati pejuku”, kata Rahman melecehkanku, tapi aku sudah tak perduli lagi, atau lebih tepatnya aku merasa tak bisa menahan hasrat untuk mengulum penis yang basah itu.

Aku terus mengulum batang penis Rahman itu, dan sesekali kusedot dengan kuat, membuat Rahman mengerang keenakan. Setelah mencuci penis itu di dalam mulutku, aku melepaskan kulumanku. Lalu aku ganti mengulum batang penis Harto itu dengan penuh gairah.

“Hahaha… Amoy kita yang satu ini doyan peju toh. Kalo gitu aku kasih minum peju yang banyak. Isep punyaku sampai keluar ya amoyku sayang”, kata Harto sambil tertawa tawa.

Aku tak menanggapi kata kata yang merendahkan dan menghinaku itu, dan terus mengulum penis yang kecil ini. Kujilati memutar, dan kugigit kecil, kukulum kembali dan kusedot kuat kuat, membuat Harto mengerang keenakan, sampai akhirnya penis ini juga berkedut, menyemprotkan sperma yang kental sekali, paling kental dari yang pernah kurasakan di mulutku selama ini.

Rasanya tak terlalu gurih, cukup asin juga terasa agak asam. Aku terus melumat dan menjilati penis itu sampai bersih dari sperma, dan si gendut ini turun dari tubuhku dengan puas, lalu berjalan ke arah Supri dan Umar, dan duduk di dekat mereka berdua.

Aku masih tersengal sengal, tapi aku kembali memperhatikan Jenny yang masih digarap Satrio yang menggenjot Jenny dengan kasar. Jenny sepertinya sudah di ambang orgasme, nafasnya mendengus dengus mengikuti irama batang penis yang sedang memompa liang vaginanya.

Kedua payudara Jenny diremas remas oleh Satrio, dan terlihat Jenny menggeleng gelengkan kepalanya kuat kuat seolah tak kuasa menahan nikmat yang menerjang tubuhnya.

“Hnnnggggghhhh… aaaaah… aduuuuuh….”, akhirnya Jenny takluk juga, ia melenguh lenguh keenakan ketika orgasme mendera tubuhnya.

Tubuhnya tersentak sentak beberapa detik, sementara kakinya yang tertumpang di pundak Satrio melejang lejang. Jenny sedang dalam puncak kenikmatannya, dan tubuhnya yang putih mulus dan indah itu melengkung hingga pinggangnya terangkat sexy, kepalanya menengadah ke belakang.

Satrio yang terlihat begitu menikmati tubuh nona majikannya yang tadi sempat menghantamnya itu, tiba tiba menggeram tanda akan orgasme.

“Uunnngggghhh… oooooh…”, Satrio melolong lolong dan tubuhnya bergetar hebat.

Gerakan pinggulnya menunjukkan Satrio sedang menyemprotkan spermanya di dalam liang vagina Jenny, yang sudah tergeletak tanpa daya. Jenny terlihat kelelahan setelah orgasmenya yang hebat tadi.

Setelah puas, Satrio menarik lepas penisnya dari liang vagina Jenny, dan menyodorkan penis yang belepotan sperma yang bercampur cairan cinta nona majikannya untuk dioral nona majikannya itu sendiri.

Jenny pasrah saja dan membuka mulutnya yang mungil, lalu ia mulai mengoral penis itu, mengulum dan menyedot, persis seperti yang kulakukan sampai pipinya kempot. Selagi aku asyik menonton, tiba tiba kurasakan kakiku direntangkan.

Aku segera melihat siapa yang melakukan itu, dan ternyata Umar yang melakukan. Aku bergidik mengingat ia tadi menyodomiku, tapi saat kulihat penisnya, ternyata bersih.

“Tenang non amoy yang cantik, sudah kucuci bersih kok. Kami memang nggak suka mengotori memek yang jadi jatah bersama. Sudah, nikmati saja non”, kata Umar yang kelihatannya menyadari apa yang menjadi kekuatiranku tadi.

Ia terus merentangkan kakiku, dan mengambil posisi di selangkanganku. Aku dapat melihat penisnya, memang seperti dugaanku, mirip sekali dengan penis Supri. Bahkan batang penis ini juga menekuk ke atas.

Aku terdiam dalam kengerian, mengingat rasa sakit yang begitu menyiksaku saat selangkanganku ditembusi penis Supri tadi.

Jam dinding menunjuk pukul setengah enam sore, ketika kurasakan penis itu mulai menyeruak masuk mengisi liang vaginaku.

Tubuhku mengejang dan bergetar ketika rasa sakit mulai mendera selangkanganku lagi. Aku merintih perlahan, memejamkan mataku kuat kuat, namun akhirnya terbeliak ketika dengan hentakan yang keras penis Umar menghunjam seluruhnya dalam liang vaginaku.

“Ooooonnggghhh… aaaaaaghh…” aku melolong kesakitan, walaupun harusnya liang vaginaku masih becek dan licin oleh sperma pejantan pejantan tadi yang juga bercampur cairan cintaku.

Aku berusaha menahan sakit ini, berharap liang vaginaku segera beradaptasi terhadap tusukan penis raksasa ini. Sementara aku menggigit bibir menahan sakit, aku mendengar Jenny melenguh. Aku sempat menoleh dan melihat, ternyata Supri sudah menggenjot Jenny yang terus menggeliat dan sepertinya kesakitan.

Namun kulihat kali ini, Supri berlaku lembut. Kemudian Supri membenamkan batang penisnya itu dalam dalam. Aku bisa merasakan betapa sesak rasanya liang vagina Jenny sekarang, sama seperti liang vaginaku yang penuh sesak terisi batang penis Umar.

“Non Jenny, saya minta maaf ya, tadi sudah menodong non pakai pisau. Abisnya non jadi galak gitu, pakai main hantam. Kalau tidak segera aku hentikan, ntar yang kena hantam non terus terusan kan bisa balas nyakitin non. Daripada terjadi hal yang gak enak gitu, dan aku sudah ingatkan Satrio tadi supaya nggak macam macam”, kata Supri sambil memandang ke arah Jenny yang hanya diam saja.

“Kami juga berpendapat, non Eliza ini harus digarap sekalian, supaya tak melapor ke siapapun. Maaf ya non Eliza, kalau tadi kata kata kami kasar. Habis, non Eliza memang cantik sih, nggak kalah sama non Jenny. Sejak kami melihat non Eliza bulan Agustus lalu, kami semua sudah ingin mencoba servisnya non Eliza. Akhirnya hari ini kesampaian deh. Ya sudah, kita nikmati saja pesta sex ini ya”, kata Supri sambil mulai menggenjot Jenny dengan lembut, membuat Jenny mulai melenguh keenakan.

Aku sempat berpikir, kurang ajar memang mereka semua ini, memangnya kalau lihat amoy cantik, lalu boleh dipaksa untuk menservis mereka? Apakah aku yang salah jika aku ditakdirkan mendapat karunia wajah yang cantik serta tubuh yang indah?

“Pak Satrio, tadi itu, maafkan Jenny ya, soalnya Jenny nggak mau ngeliat Eliza diginikan juga. Terima kasih ya pak Satrio tadi nggak balas nyakitin aku…”, tiba tiba kudengar suara Jenny yang membuatku tertegun.

Tapi aku tak dibiarkan Umar untuk melamun lama lama, genjotannya yang kini juga menjadi lebih lembut, membuat aku juga mulai merasa nikmat, dan sodokan penis raksasa ini membuat aku mengejang menahan nikmat.

Orgasme demi orgasme terus melanda kami berdua, membuat aku dan Jenny sudah setengah sadar dengan tubuh yang terkocok kocok dihentak hentakkan penis pejantan yang terasa memenuhi seluruh tubuh kami. Ya, kami serasa menjadi betina yang diperbudak para pejantan di tempat kerja mereka ini.

Tiba tiba, entah apakah ini sudah mereka rencanakan, bersamaan Supri dan Umar mengangkat tubuh amoy yang sedang menikmati orgasmenya, memeluk erat hingga kami berdua terangkat bangun dan terpaksa melingkarkan kaki kami ke pinggang pejantan kami. Tangan kami pun sama sama menggelayut ke leher mereka, dan dalam posisi ini kami kembali digenjot, kali ini lebih gencar.

Dengan cepat aku dan Jenny dipaksa menggeliat akibat liang vagina kami berdua teraduk aduk penis raksasa pejantan kami. Aku dan Jenny melenguh lenguh bersahut sahutan, dan akhirnya orgasme mendera kami yang berada dalam pelukan pejantan kami.

Kini aku dan Jenny sudah amat lemas. Dalam keadaan orgasme hebat, kami pasrah menunggu keluarnya sperma pejantan kami dalam liang vagina kami. Entah dengan milik Jenny, yang jelas milikku sudah tak karuan rasanya, begitu becek dan mungkin sedikit bengkak.

Beberapa saat kemudian, aku merasakan penis Umar berkedut, dan di dalam posisi ini, spermanya menyembur ke dalam liang vaginaku. Umar terlihat kelelahan juga, dan mengangkatku sedikit hingga penisnya itu terlepas dari vaginaku, dan kemudian ia menurunkan tubuhku ke ranjang.

“Non Jenny… di dalam… atau di mulut…”, kudengar Supri menggeram dan dengan suara parau ia bertanya pada Jenny.

“Di dalam sajaah… Supp…”, Jenny menjawab dengan suara yang mendesah sexy.

Maka terlihat Supri mengejang dan gerakan pada selangkangan mereka yang menyatu menunjukkan betapa mereka berdua sedang dilanda kenikmatan yang amat sangat. Aku melihat campuran sperma dan cairan cinta yang mengalir keluar dari bibir vagina Jenny saat penis Supri sudah tercabut dari sana.

-x-

VI. Kisah Sedih Jenny
Maka selesailah penderitaan kami hari ini, mereka mempersilakan kami kembali ke ruang dalam, sementara mereka beristirahat sesaat, lalu meneruskan pekerjaan mereka yang tertunda. Aku dan Jenny berjalan masuk ke dalam dengan langkah yang tertatih tatih.

Kami berdua sempat diam beberapa saat setelah berada di kamarnya Jenny, dan tiba tiba Jenny melihatku sambil menangis.

“Eliza, kalau kamu mau memusuhi aku setelah ini, aku juga tak bisa apa apa. Aku hanya bisa berharap, kamu mau memaafkan aku ya”, kata Jenny diselingi isak tangisnya.

Aku terharu dan memeluk sahabatku ini dengan iba, ketika aku baru menyadari tubuh kami berdua ini masih bugil sama sekali. Saat itu kedua puting susu kami sempat bersentuhan, dan harus aku akui rasanya nikmat juga.

Hal itu sedikit mengejutkanku, tapi aku tahu kami tak boleh macam macam. Nggak lucu kalau aku dan Jenny terlibat cinta sejenis, juga mungkin Jenny bisa marah bahkan jijik padaku.

Maka aku berusaha memadamkan gairah yang sempat melandaku ini, dan aku pikir aku harus menghibur temanku ini.

“Jeen, ini bukan salah kamu. Aku sendiri yang salah, sudah kamu beritahu untuk duduk di kamar, tapi aku malah keluar dan nyariin kamu. Malah tadi itu salahku juga sampai kamu ditodong pisau tadi. Terima kasih Jen, kamu benar benar mati matian membelaku tadi, aku nggak tahu mesti bilang apa… yang pastikita harus tabah ya Jen”, aku berkata dengan rasa haru teringat bagaimana tadi Jenny begitu tak rela melihatku jatuh ke tangan para buruhnya.

Aku merangkul Jenny yang langsung balas memelukku. Tangis Jenny makin tersedu sedu, dan aku membiarkan Jenny meluapkan emosinya dengan cara seperti itu.

Setelah Jenny agak tenang, kami memutuskan untuk mandi bareng di bathub kamar mandi. Jam menunjukkan pukul enam sore, dan kami punya waktu sekitar setengah jam untuk mandi. Cukup lah, maka kami segera memasukkan busa ke bathub yang tadi sudah terisi penuh. Setelah itu kami berdua masuk ke bathub bersama sama.

Sudah tak ada rasa canggung di antara kami, toh dari tadi kami sudah sama sama telanjang bulat saat dibantai di ruang belakang.

Aku merasakan hubungan kami berdua sekarang semakin dekat. Aku dan Jenny saling membilas tubuh kami, sambil aku mendengarkan Jenny menceritakan tentang bagaimana ia bisa jatuh ke tangan para buruh di rumahnya ini.

Waktu di tengah liburan kenaikan kelas satu SMA ke kelas dua SMA di bulan Juli kemarin, Jenny dan Alex, mantan pacarnya, sedang di rumah ini sendirian. Kemudian Alex memaksa Jenny untuk awalnya hanya pegang pegang, lama lama meningkat menjadi remasan dan ciuman, sampai akhirnya mereka telanjang, dan bersetubuh dengan penuh kasih sayang.

Saat itu si Supri yang mengambil minum di dispenser yang memang agak dekat dengan kamar Jenny, mendengar suara suara desahan dari kamar Jenny.

Kesalahan Jenny dan Alex, pintu kamar Jenny tidak dikunci. Maka Supri bisa mengintip dan mendapatkan Jenny sedang disetubuhi Alex.

Dengan nafsu yang ditahan, Supri masuk ke dalam kamar Jenny. Dengan munafik Supri berkata kalau ia muak dengan tingkah laku Alex, lalu mengancam akan melaporkan Alex pada ortu Jenny.

Hal itu membuat Jenny dan Alex ketakutan, dan Alex berkata kalau ia bersedia melakukan apa saja supaya Supri tidak melaporkan kejadian tadi pada orang tua Jenny. Maka Supri berkata pada Alex kalau ia tak mau melihat batang hidung Alex lagi di rumah ini.

Jenny sampai merasa dadanya sesak karena jengkel sekali. Memangnya si Supri ini siapa? Tapi Jenny sadar juga kalau Supri sudah memegang kartu truf. Dan sejak saat itu, Alex terpaksa mengalah dan tak berani muncul di rumahnya Jenny.

Tentang Jenny sendiri, setelah Alex pulang, maka Supri menunjukkan belangnya. Supri mengancam Jenny kalau sampai berani mengajak pacarnya ke rumah ini lagi, Supri pasti akan melaporkan ke papanya.

Dan selain itu, Jenny harus mau melayani Supri jika situasi memang memungkinkan seperti sekarang, yaitu tak ada siapa siapa di rumah selain Jenny dan Supri serta empat buruh yang lain.

Tak berdaya menolak, Jenny yang memang sudah tak perawan terpaksa melayani Supri yang langsung membawa Jenny ke ruang produksi di belakang rumah, di situ ia melayani hasrat para buruhnya ini.

Pertama kalinya Jenny sempat pingsan berulang kali, dibantai Supri dan Umar yang ukuran penisnya besar sekali. Dan butuh sampai dua hari baru Jenny mampu beradaptasi dan cukup kuat untuk melayani mereka.

“Eliza.. kamu hebat ya.. bisa tahan digencet Supri dan Umar.. mereka itulah yang membuat aku pingsan pingsan waktu dulu pertama kali menjadi budak seks mereka”, Jenny sempat sempatnya memujiku dan membuatku menunduk malu, dapat pujian kok tentang ketahananku saat disetubuhi.

Jenny melanjutkan ceritanya, bahwa sejak saat itulah, Jenny menjadi budak seks mereka. Sering Jenny melakukan quicky sex dengan mereka berlima sepulang sekolah. Alex akhirnya putus dengan Jenny, karena ia tak tahan juga tak diperbolehkan oleh Jenny untuk datang ke rumah Jenny lagi.

Jenny kembali menangis sedih mengakhiri ceritanya, dan Jenny merasa menyesal sekali harus putus dengan Alex, lelaki pertama dalam hidupnya, yang juga sudah mengambil keperawanannya, walaupun Jenny memang rela memberikannya untuk Alex.

Aku memeluk Jenny dengan terharu, ikut menangis bersama Jenny merasakan kesedihan yang dalam dari sahabat baikku ini.

“Eh Eliza, kok kamu bisa berkata tidak perawan lagi waktu bilang mau melayani mereka semua? Itu tadi hanya akal akalanmu kan supaya aku tak terlalu merasa bersalah? Aku tahu kamu itu cewek baik baik, kamu nggak mungkin pernah berbuat macam macam. Kamu baik sekali Eliza, kamu masih bisa bisanya coba meringankan bebanku waktu kamu sendiri sedang ada dalam masalah… makasih Eliza, maafin aku ya”, tiba tiba Jenny berkata panjang lebar.

Aku kembali terharu, aku menggelengkan kepala, dan menceritakan semuanya, dari mulai aku dijebak Girno cs di ruang UKS hingga keperawananku terenggut oleh mereka, kemudian bahkan sejak keesokan harinya, aku memulai kehidupan sebagai budak seks dari dua pembantu dan sopirku di rumahku sendiri.

Jenny seperti tak percaya ketika mendengarkan semuanya, lalu memelukku erat, kami kembali saling bertangisan seolah hendak mengatakan kita berdua ini senasib.

Dan seiring berakhirnya ceritaku, kami juga sudah selesai mandi. Setelah saling mengeringkan tubuh dan rambut kami, aku dan Jenny sama sama memakai baju tidur satin yang nyaman, dan kini kami berdua sudah terlihat segar.

Kami keluar kamar menjumpai ortu Jenny yang sudah pulang, dan kami makan bersama seolah tak terjadi sesuatu, padahal tubuh kami rasanya remuk. Hari yang melelahkan ini membuat aku dan Jenny jadi ingin tidur lebih cepat, mengistirahatkan tubuh kami yang sudah dipakai para buruh ini. Maka selesai makan kami segera menyikat gigi dan masuk ke kamar, tiduran di ranjang yang empuk.

Kami mengobrol tentang banyak hal, tanpa menyinggung kejadian buruk yang baru menimpa kami, sampai akhirnya kami tertidur. Entah apa lagi permainan sex yang harus kami berdua alami bersama di kemudian hari, yang jelas kami harus beristirahat sekarang ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *