Di hutan Dhandhoko, sepeninggal Lesmana, keadaan tidak menjadi lebih baik. Rama sering termenung menyendiri memandang bulan merah sambil menyenandungkan lagu-lagu putus kasih. Hatinya sedih membayangkan adik kinasih sendirian bertapa di gua yang sunyi sepi. Ia menyesal telah melepaskan orang yang paling dicintainya, demi laku satrio utomo (lelakon ksatria utama), yang sebenarnya sikap lamis. Demi ambisi politiknya untuk kembali madheg narendro (naik jadi raja) dengan mengorbankan orang yang ingin menyayanginya dan menyanding orang yang tidak begitu disayangi. Melihat kenyataan seperti itu, Shinta menyadari bahwa ia sedang menghadapi kenyataan pahit. Cinta Rama hanya untuk adi kinasih/terkasih walau orangnya telah mungkur. Yang dimiliki Shinta hanyalah sosok Rama, bukan hati Rama. Yang dihadapnya hanyalah raga Rama, bukan sukmanya. Yang digenggam Shinta hanyalah secarik kertas nikah, bukan jati diri Rama.
Sukma Rama tidak disisinya, tetapi mengembara ke gua sunyi mendengarkan dengung kidung-kidung Lesmana. Demi melihat kenyataan itu, Shinta makin merana. Ia dinikahi bukan atas dasar cinta. Ia tak lebih dari sebuah vas bunga pajangan. Entahlah, untuk menunjukkan betapa sakti dan jantannya Rama dalam memenangkan sayembara, dharma sebagai satrio utomo atau hanya sebagai andalan ambisi politik Rama. Air mata Shinta sudah habis. Shinta sudah mutung putus asa, hatinya retak berkeping-keping. Ia sudah tidak bisa lagi menangis. Harga dirinya sebagai wanita tertusuk
“Aku bukan vas bunga, aku wanita yang merindukan kasih sayang dan pelukan mesra. Aku sisihan sandingan yang seharusnya disisimu, bukan hanya status.”
Disisi lain, Shinta terhimpit rasa bersalah telah mengusir Lesmana. Salah apa dia ? Selama ini, pemuda lembut ini sikapnya sangat baik kepada Shinta, nyaris sempurna. “ Mengapa aku tega kepadanya … ? “
Makin hari hati Shinta makin kalut. Ia serba salah. Sikap Rama kepadanya baik bahkan ia rela berpisah dengan yang tersayang. Shinta tidak punya alasan apapun untuk merajuk. Ia tidak bisa memaksa Rama mencintainya. Pada suatu hari ketika Rama sedang berburu mencari makanan, Shinta nekat minggat dengan meninggalkan surat singkat yang ditulisnya pada daun-daun hutan.
Kangmas Ramawijaya
Sepeninggal dhimas Lesmana akhirnya saya menyadari bahwa cinta kasih kangmas hanya untuknya seorang. Bagi kangmas, saya tak lebih sebuah pelengkap untuk memenuhi statusmu. Kita tidak perlu berpura pura lagi bahwa kita bukan garwo, bukan sigaring nyowo(belahan jiwa). Oleh karenanya saya meninggalkan kangmas. Kita bercerai. Itulah yang terbaik bagi kita beriga, Saya akan mencari dhimas Lesmana untuk minta maaf dan memintanya kembali bersatu dengan kangmas. Kemudian, saya akan mengembara mengikuti jejak kaki. Semoga bahagia selalu.
Salam hormat
Shinta
Tersaruk saruk Shinta meninggalkan hutan Dhandhoko. Ia benar-benar tidak tahu harus kemana pergi. Ia tidak tahu dimana Lesmana. Tidak mungkin ia pulang ke kerajaan Manthili karena ayahnya telah wanti-wanti kepadanya untuk tidak purik. Ia jerih kembali ke Rama, hatinya sakit melihat Rama hanya menatap bulan merah membayangkan Lesmana. Shinta sudah mutung, tung. Belum lagi becek, digigit nyamuk, makan tekèk, dll. Ia melangkah dan melangkah terus mengikuti langkah kakinya. Dalam bayang2 rasa bersalah karena mengusir Lesmana ….
Tanpa disadarinya ia telah keluar dari hutan Dhandhoko dan masuk laladan lain. Hutan Jantoko yang gelap pekat, tempat yang gawat ke-liwat-liwat. Jika ada sato kewan masuk, pasti mati. Apalagi jika itu bangsanya ayam, bebek, kambing, sapi. Pasti jadi ingkung, tong-sèng, empal atau steak. Jika ada manusia masuk kesitu, harusnya mati. Tetapi laladan ini lebih gawat. Yang masuk mesthi disiksa, dislomoti rokok, dan ditempilingi dulu. Banyak manusia hilang disini tanpa ketemu kuburannya. Wé lha dalah gawat nian …. , laladan apa ini ? DOM ! … daerah operasi militer. Wuaduh, lantas siapa komandan DOM-nya ? Dalam keremangan samar-samar muncul sosok tubuh tinggi besar. Rahang bawahnya panjang dan taring tunggalnya mencuat keatas mingis-mingis. … Kolonel Telik Sandi negara adidaya Alengka Diraja ! … Dityo Kolo Marico ! (Chakill)
Eèèèng … ing … èèèèèèèèèèèèng …..
+ Kiiiiiii… !
– Opo …. !
+ Gamelannya kok begitu ?
– Iki gamelan Londo, tau’ ?
+ Begini saja, Ki : mung, mung gung mung gung mung gung mung .., mung …
– Emoh ah, èlek BGT.
+ Kok jelek ?
– Suaramu pating gedhumbrèng koyo èmbèr di kepruk’i !
+ Wo, nggih …
Janda di Sarang Penyamun
Begitu masuk Dewi Shinta langsung diinterogasi Dityo Kolo Marico.
“ eiiiit …. ini ada cewek nan cantik jelita, … siapa kau, dari mana asalmu, ngapain kesini ? … mana ktp, sim, paspor, visa, izin kerja, daftar riwayat hidup, ppn, pajak, … dst … dst “
“… Tumbaaaaas … Aku kesini mo beli bakpia pathook … Kamu siapa ?“
“ eiiiiit … disini tidak ada bakpia pathook, adanya minyak tanah, mau ? Saya Dityo Kolo Marico van der Alengka Diraja. Siapa kau ?”
“ Wo, kamu Kolo Wahing, to ?”
“ eiiiit …, wahing ..bersin..?”
“ Lha, Mrico itu rak bikin wahing, to ? Aku Dewi Woro Shinta binti Janoko soko Manthili “
“ eiiiit …, putri Prabu Janoko, to ? …. monggo … monggo …
“ Kamu tahu keadaan Manthili ? “
“ eiiiit … tahu. Intelejen saya melaporkan keadaan Manthili sedang krisis ekonomi !
“sik, siapa bossmu …. ?”
“ eiiiit …, Sarpokenoko menko polkam itu boss dan istri saya. Rajanya ratu gung binatoro yang menguasai hutan ini Prabu Rahwana.”
“ Apakah kita bisa berbicara dengannya ?”
“eiiiit …, kebetulan, dua-tiga hari lagi mereka akan datang. Silahkan tinggal di dalem Kolo Marican, gusti Dewi“
“Bagus, aku mau buat political deal dengan sang Prabu … “
Mengetahui keadaan Manthili sedang susah darah negarawan Shinta terusik. Ia tahu bahwa Alengka adalah negara facist adidaya yang sangat kaya raya. Beberapa hari kemudian datanglah penguasa rimba Jantoko, maharaja Prabu Rahwana dengan diiringi oleh adiknya, Dewi Sarpokenoko. Prabu Rahwana tubuhnya tinggi besar dengan badan gempal penuh otot pating pethokol mirip Ade Rai, Arnold Schwarzneger, atau the Rock. Lehernya leher beton dengan rambut gimbal terurai krembyah-krembyah. Prabu Dasamuka adalah raja pemarah – bludregan. Ia tidak bisa dibilang tampan. Rahangnya pesegi kukuh yang justru memancarkan citra jantan. Matanya mudah melotot. Jika bicara seperti mem-bentak dan selalu diikuti dengan sumpah serapah. Jika berjalan selalu menghentak hentak bumi sampai serasa ada gajah lewat. Raja gung binatoro ini sangat pd, nyaris megalomania. Sarpokenoko adalah wanita militer. Tubuhnya juga tinggi besar. Dandanannya menor dan suaminya banyak. Poliandri umum diwaktu itu. Di Mahabharata Dewi Drupadi atau Dewi Pancali bersuamikan lima orang. Kol. Marico adalah salah satu suami Sarpokenoko. Setelah dikenalkan dan basa basi, Shinta mulai bicara
“Prabu Rahwana, izinkan saya bicara”
“Mau apa kau ! “ Dengus bernada bariton keluar dari rahang kukuh Rahwana.
“Negara saya miskin, kanjeng Prabu. Saya hendak minta bantuan. Sebagai imbalan, negara kami akan menyerahkan pangkalan militer “
“Mengapa harus membantumu, hah “ Sang raja ganas bereaksi “Tak gempur negaramu jebol ! “ Rahwana menggeram menunjukkan jati dirinya sebagai makluk ganas. Shinta yang selama ini dirundung nestapa mendapat kesempatan untuk melupakan pedih hatinya. Ia tertantang menjinakkan si buas.
“Kanjeng Prabu tidak perlu menggempur negara saya yang miskin dan lemah. Mengapa tidak menggunakan modus operandi yang lain ?“
Shinta tersenyum manis. Ia menyukai peranan barunya. Kemanapun ia pergi selalu dilelo-lelo seperti golek emas. Tidak ada seorangpun mengijinkannya bekerja keras. Sekarang ia harus meyakinkan si Penyamun. Ia menyukai peranan barunya. Semangatnya ma-kantar2. Disisi lain sang maharaja ter-heran2 ada makluk lemah dan rapuh ngèyèl. Ia selalu berhadapan dengan raja2 dan satria2 perkasa dan berujung dengan lutahing ludiro (banjir darah). Sekarang berhadapan dengan wanita. Raja besar yang kuper dengan wanita jadi kikuk. “ Modus operandi apa ? “
“Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasoraké, dan sakti tanpo aji “ Shinta menyembah takjim. “Opo kuwi, ndhuk ? “ Rahwana mulai tertarik. Ndhuk ! Shinta nyaris berteriak kegirangan, nada ndhuk-nya nada kekeluargaan. Si Penyamun sudah tidak lagi melihat dirinya sebagai mangsa ! Diusapnya keringat dingin di keningnya.
############################
Episode 11
Si Molek dan si Buas
Beauty & the Beast
“ Selama ini baginda selalu mengerahkan wadyo bolo pirang-piramg bergodo, menang dengan mengalahkan dan selalu ngagem aji2 “ Shinta mengerahkan kasudibyan salesmanshipnya. “ Sekarang kita coba menaklukkan tanpa wadyo bolo, tanpa aji-aji, dan tanpa menyakiti warga sana, bisa tidak “ Sikap Shinta mengusik “ Selama ini gusti Prabu selalu memakai modus operandi wutahing ludiro (tumpahnya darah), sekarang kita coba modus baru, kanjeng Prabu “ Wajah sangar Rahwana meredup, ia menyimak kata-kata Shinta dan Shinta mulai berkicau. Saat itu Shinta merasa bebas, lepas dari suami yang tidak mencintainya. Ia menjadi dirinya.
“Kanjeng Prabu sugih kendel bondho wani. Itu memang perlu tetapi tidak cukup“
“Opo manèh ?”
“Sugih pétung bondho kaweruh. Kaweruh itu digembol ora metosol, diguwak ora gemrosak”
“ Wuik, opo kuwi, ndhuk “
“ … ihik, hik, hiiii hikk … saya juga tidak tahu … cuma mbagusi kok … hik hik …“ Shinta terkikik sambil menutupi mulutnya. Wajahnya tampak naif dan manis. Seperti bocah ketahuan bohongnya. Sang Raja ter-bahak-bahak dikerjain gendhuk itu.
Kemudian pembicaraan bergeser, Shinta mulai bicara tentang dunia kecilnya dihutan kemarin. Tentang kembang Sepatu, Menur & Kenongo, burung Bekisar, bahkan tok-érok dengan matanya yang seperti kelereng. Dengan mata berbinar diceritakannya sayap-sayap bening bandhempo yang seperti kain sutra. Sampai larut malam. Pada hari yang lain Shinta bicara tentang dirinya yang juga manusia biasa. Ia juga wanita seperti layaknya wanita lainnya. Yang membedakannya hanya kedudukannya semata. Saat Rahwana datang menemuinya, sesekali sempat juga ia memperhatikan tubuh Rahwana yang tinggi besar, gempal, berotot, dan atletis. Bahkan tubuh Rahwana jauh lebih tegap dari pada Rama suaminya. Rahwana, jelas jauh lebih ‘macho’ dan tentu bisa membuat setiap wanita gandrung dan mabuk kepayang. Sebagai seorang wanita muda yang sudah sekian lama tak tersentuh laki-laki. Dewi Shinta beberapa kali juga sempat merasakan detak jantungnya tiba-tiba berdegup keras tak terkendali. Bulu kuduknya seringkali berdiri meremang, saat membayangkan tubuh Rahwana menyentuh dirinya. Bukan karena takut, tetapi karena terbuai oleh bayangan erotik yang tiba-tiba merangsek ke dalam benaknya. Keringat dinginnya mengucur begitu saja di seluruh permukaan tubuhnya. Tubuhnya, tiba-tiba berubah menjadi panas dan seketika otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih. Ada gejolak gairah yang tiba-tiba menyeruak tanpa bisa dikendalikannya. Badannya bergetar hebat, lidahnya terasa menjadi kelu dan sukar untuk berkata-kata. Jari-jari tangannya yang lentik, tiba-tiba menjadi gemetar. Tubuhnya lemas dan seakan ia tidak mempunyai kekuatan untuk menggerakkannya. Hatinya sejenak menjadi resah dan gelisah. Saat ia menjawab pertanyaan Rahwana, kalimat yang terlontar dari mulut mungilnya begitu bergetar, sehingga saat mengucapkannya menjadi terbata-bata. Untunglah, Rahwana menganggap kalimat yang diucapkan terbata-bata itu, sebagai ucapan seorang yang sedang dilanda ketakutan hebat. Andai saja Rahwana tahu apa yang sedang dirasakannya, mungkin ceritanya akan menjadi lain. Selama ini dunia Rahwana adalah dunia satu dimensi. Selalu tentang darah, darah, dan darah. Malang melintang dari satu medan laga ke medan tempur lainnya, Dalam keriuhan ringkik kuda, deru campur debu, lolong kematian, sumpah serapah. Tentang bagaimana meretakkan rahang lawan. Tentang bagaimana menebang leher musuh. Tentang bagaimana memporakporandakan pertahanan lawan. Dunia lutahing ludiro … bau anyir mengikuti kemana Raja beringas ini pergi. Kini Sang Penyamun teretegun melihat dunia lain. Dunia yang tak pernah dijenguknya. Tentang Semprang yang ekornya njeprik, tentang anak-anak bebek yang namanya minthi. Kemudian tentang Ronggowarsitan; tentang Kolotidho, Kolobendu, dan Kolosubo. Tentang Unining Uninang Uninong. Sang Maharaja tergugah; ia melihat dimensi lain selain genangan darah merah. Ia mulai menyukai kicauan si burung Pipit kecil mungil, si gendhuk Shinta. Gendhuk mungil itu menghadirkan pelangi dalam hidupnya. Di sisi lain, rasa bombong merayap di hati Shinta. Berbulan di alas Dandoko serasa tidak punya arti. Di Jantoko ia melakukan peranannya nyaris sempurna. Negotiator par excellence ! The beast nyaris dijinakkannya, ia tidak lagi buas. Harga dirinya membubung naik. Mendung yang menyaput wajahnya tersibak sampai sumeblak. Kecantikannya kembali mencorong seperti bulan moblong2. Semua orang terpesona oleh kecantikannya tetapi si buas ini tidak. Ia sudah tuwuk dengan gadis cantik. Baginya, mencari gadis ayu semudah memijit buah Ranti. Ia lebih menyukai kicauannya dan Shinta sangat berbahagia dengan sorot mata menyanjung dari si buas. Hati Shinta ber-bunga2. Ia merasa bebas, seperti burung terbang diangkasa melayang-layang. Shinta menjadi sedikit liar. Malam itu bulan purnama. Shinta & Rahwana bercengkerama berdua dipinggir sebuah sungai. Entah apa yang sedang terjadi, mungkin Bathara Kamajaya sedang lewat disitu. Atau Shinta ikut-ikutan meminum anggur Sang Penyamun yang membuatnya sedikit pusing. Suasana begitu indah dan Shinta tergerak untuk mengeramasi rambut Sang Penyamun yang gimbal dan krembyah-krembyah. Sang maharaja manut, ia telentang
dipinggiran pasir kali yang basah. Dibiarkannya gendhuk mungil itu membasahi rambutnya. Sambil berdendang, Shinta mengeramasi rambut Sang prabu. Kemudian dibasuhnya muka Sang Raja sambil tiap kali membetulkan kemben yang lobok. Kemben pinjaman mbakyu Sarpokenoko kedodoran. Selalu mlotrak mlotrok.