Siang itu aku pulang cepat dari sekolah, karena guru sedang rapat. Aku segera pulang. Sesampainya di rumah keadaan memang sangat sepi. Aku baru ingat, kalau Bu Rochim ada acara di Dinas Pertanian. Anak-anaknya dibawa semua. Aku menuju kamar. Saat menyimpan sepatu di samping kamar, aku mendengar suara perempuan mengerang, mendesah-desah, yang keluar dari dalam kamarku. Aku mengintip dari kaca nako.
Ya ampun! Yang kulihat di sana sungguh luar biasa, dan tak akan pernah kulupakan. Di atas tempat tidur, Kak Tina sedang mengenakan baju kaos warna jingga. Hanya itu saja. Tanpa apa-apa. Baju kaos itupun tersingkap bagian atasnya, menampakkan dadanya yang kemarin malam aku sentuh.
Langsung saja kemaluanku membesar, meradang di balik celana seragamku. Aku melihat Kak Tina memegang novel dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya menggosok-gosok bagian rahasia tubuhnya. Dapat kulihat bulu-bulu yang tumbuh lebat di sana. Mata Kak Tina mendelik-delik, nafasnya terengah-engah. Aku melihat judul novel yang dibacanya. Sampai saat ini masih kuingat. Judulnya Marisa, pengarangnya Freddy S.
Kak Tina masih terus menggosok kemaluannya. Saat tangannya beralih meremas payudaranya, terbukalah kewanitaannya. Saat itulah aku pertama kali melihat vagina wanita dewasa. Seerr, kejantananku sakit sekali rasanya. Reflek kuelus sendiri kemaluanku. Rasanya nikmat, nikmat sekali. Suatu rasa yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku masih terus mengintip, sampai akhirnya Kak Tina tampak terlonjak-lonjak dari tempat tidur. Erangannya berubah menjadi jerit tertahan. Aku semakin takjub. Saat gerakan liarnya selesai, aku merasakan sesuatu keluar dari kemaluanku. ooh, cairan berwarna putih kental keluar dari kepala kejantananku. Banyak sekali, mengotori celanaku. Aku menyumpah-nyumpah. Saat itu sikuku menyenggol rak sepatu. Sepatu-sepatu terjatuh menimbulkan suara berisik. Tempat tidurku terdengar berderak. Kak Tina pasti sedang merapikan dirinya. Aku terdiam terpaku.
“Siapa itu?”, Tak lama kemudian terdengar suaranya.
“Aku, Kak.., Aku”, Jawabku.
“Kau sudah pulang, Sapto?”.
“Ya, Kak.., Guru-guru rapat”
Kak Tina keluar dari kamar. Telah memakai kain sarung. Aku menutup bagian depan celanaku yang basah dengan tas sekolahku.
“Barusan ya?”.
“Iya Kak”.
Tampak raut wajah Kak Tina berubah. Kelihatannya dia lega aku tak memergokinya.
“Ya sudah, ganti pakaian dan makan.., Aku siapkan dulu”
Aku masuk kamar, lalu mengambil celanaku. Sedang Kak Tina ke dapur. Kulihat novel itu ada di atas meja. Kak Tina lupa menyembunyikannya. Setelah aku mengganti celana, aku meraih novel itu. Membolak-baliknya. Saat kudengar langkah Kak Tina, segera kuletakkan di tempatnya. Celana seragamku aku rendam di kamar mandi.
Aku menuju dapur, lalu makan bersama Kak Tina. Setelah makan, seperti biasa aku dan Kak Tina menuju kamar kami. Kak Tina mengambil novelnya, hendak menyimpannya di dalam lemari.
“Kak, Saya bisa pinjam nggak?”.
“Ini? Ini bacaan orang besar”.
“Tapi kan saya ingin tahu. Kelihatannya bagus. Saya belum pernah Kak Tina ijinkan membacanya”.
Kak Tina menatapku. Lalu berkata,
“Baiklah. Kita baca sama-sama”.
Aku nyaris tak percaya. Kamipun duduk di pinggir tempat tidur. Mulai membaca.Ceritanya mengenai seorang wanita bernama Marisa, yang liar dan haus seks. Ceritanya benar-benar vulgar. Kak Tina nafasnya tak teratur saat membaca bagian yang menceritakan permainan cinta Marisa dengan beberapa laki-laki. Aku memandangnya. Mukanya yang sedikit hitam bertambah gelap. Nafsunya kurasa.
“Sapto. Sulit ya membacanya?”
Memang kami duduk berdampingan, dengan buku dipegang Kak Tina.
“Ya”
“Kalau begitu, duduklah di pangkuanku”
Aku kaget, tapi tanpa berkomentar aku lalu duduk di atas pahanya. Badanku belumlah terlalu besar. Beratkupun saat itu belum sampai 40 kilo. Walau sedikit kesulitan, Kak Tina terus membaca. Aku? Otakku sudah tak mampu lagi membaca. Pikiranku mendadak kosong, ketika punggungku menyentuh dadanya. Dapat kurasakan kehangatan yang dihantarkannya.
Kak Tinapun kurasakan menggosokkan tubuhnya ke tubuhku, saat halamannya sudah sampai ke bagian seru. Aku menikmati saja. Kejantananku meronta di balik celanaku, yang saat itu belum terbiasa memakai underwear. Tangan Kak Tina yang kanan mencengkeram pahaku. Terkadang mengelusnya, terkadang mengusap sampai ke pangkal pahaku. Aku membiarkan saja. Kurasakan detakan jantung Kak Tina kencang, seirama dengan detak jantungku. Agen Sbobet Resmi
“Berdiri sebentar, Sapto”. Aku pun berdiri. Kak Tina membuka lebar pahanya.
“Capek, Kamu makin lama tambah berat. Duduk di sini saja”. Dia menunjuk tepi tempat tidur, di antara pahanya yang terkangkang.
Kami terus membaca. Kali ini sensasi yang kurasakan tidak hanya dada Kak Tina yang menekan punggungku, juga sebentuk gundukan hangat di pangkal pahanya menyentuh pantatku. Otakku terbakar! Tangan Kak Tinapun tetap meraba pahaku.
Dengan ragu-ragu, kuletakkan pula kedua tanganku di pahanya. Dia tidak melarang. Aku coba mengusapnya, seiring dengan usapannya di pahaku. Dia tidak melarang. Naluriku menyuruhku untuk menekan punggungku ke dadanya. Dia tak melarang. Malah tangannya mulai menyentuh kejantananku, memegang batangnya. Aku menahan nafas.
Tangan Kak Tina tetap mengelus dan meremas kejantananku dari balik celana. Tanganku pun bereaksi lebih berani, meremas pahanya yang kiri dan kanan.
Tekanan dada Kak Tina, beradu dengan tekanan punggungku. Saat ini aku merasakan puber yang sebenarnya.Saat tangan Kak Tina mencoba meraih ritsluiting celanaku, terdengar suara motor bebek memasuki halaman rumah. Bu Rochim pulang.
Serentak kami berdiri. Berpandangan. Aku salah tingkah. Kak Tina merapikan bajunya.
“Sana, Urus sapi”, Usirnya kepadaku.
Aku pun menurut. Waktu mengambil rumput sapi aku memikirkan semua yang terjadi, segalanya begitu fantastis.
Pengalaman yang tak pernah kudapat sebelumnya. Aku mengharapkan segalanya akan terulang kembali. Tapi Kak Tina tak pernah mengajakku membaca bersama lagi. Aku tak berani bertanya kepadanya. Malu.
Namun pengalamanku hari itu dengan Kak Tina membuat aku tambah penasaran mengenai seks. Aku ketagihan. Malam-malam, kalau Kak Tina tidur, aku menjelajahi tubuhnya. Dan untungnya, Kak Tina itu kalau tidur seperti orang pingsan. Sulit sadarnya. Jadi aku bisa bebas menyentuh dada dan kewanitaannya. Walaupun masih terhalang oleh pakaiannya. Tapi aku cukup puas.
Sekali waktu, dengan berpura mengigau, aku merangkak di atas tubuhnya. Hati-hati sekali aku tiarap di atasnya. Mukaku tepat di antara bukit kembarnya, sedang kejantananku tepat di kewanitaannya.
Aku menikmati saat itu. Sensasi yang kurasakan bertambah dengan rasa takut ketahuan. Kejantananku menekan kemaluannya, tergadang kugosok-gosokkan.
Kak Tina tetap tak sadar. Setelah belasan menit melakukan itu, kejantananku menyemburkan spermaku. Membasahi celanaku, juga sedikit membekas di daster Kak Tina.
Paginya aku takut-takut, kalau Kak Tina tahu ada sisa sperma di dasternya. Untung sisanya telah mengering. Sejak malam itu, setiap malam aku melakukan hal itu.
Terkadang kupikir Kak Tina tahu, tapi dia membiarkan saja. Masalahnya aku pernah merasa bagian bawah tubuhnya berdenyut-denyut saat kutimpa, dan tangannya merangkulku, dan detak jantungnya keras dan cepat. Karena dia tidak pernah menyinggung hal itu, aku biarkan saja.
Sampai satu hari kudapati Kak Tina muntah-muntah di kamar mandi. Bu Rochim mencemaskan keadaannya. Dengan segera Bu Rochim membawanya ke dokter. Kabar yang dibawanya dari dokter membuat seisi rumah tersentak. Kak Tina hamil dua bulan.
Bukan, bukan aku yang melakukannya. Mana bisa. Kami tak pernah bersetubuh. Lalu siapa? Pak Rochim? Bukan, beliau orang baik (sampai sekarang aku selalu mengingatnya, ayah angkatku itu). Jadi siapa?
Ternyata yang melakukannya pacar Kak Tina, seorang tukang becak yang sering mengantarnya kalau pergi pasar. Rupanya, kalau Pak Rochim bekerja dan Bu Rochim ada acara Dharma Wanita, si Otong itu selalu datang.
Dan akhirnya Kak Tina pun menikah, lalu berhenti kerja. Tinggallah aku sendiri. Pak Rochim tak pernah mengambil pembantu lagi. Tiada lagi teman tidurku. Hanya aku dapat warisan dari Kak Tina. Apalagi kalau novel-novel erotiknya.
>>>TAMAT<<<