Monday, December 23, 2024

Lula Kamal XXX: Lukisan Petaka

Lula Kamal

“Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?” Lula bertanya pada remaja laki-laki yang duduk di depannya.
“Saya ke sini bukan karena keinginan saya sendiri, tapi orang tua saya yang memaksa.” jawab Azzam, sambil matanya nanar menatap meja.
“Ya, baiklah… baiklah… Jadi, ada masalah apa?” Lula memperhatikan bagaimana tubuh kurus Azzam gemetar, anak itu tampak sangat terguncang.
“Mereka… mereka menganggap saya gila.” sahut bocah itu, air mata mulai mengalir di sudut matanza yang cekung.
“Maaf?” Lula ingin memastikan kalau ia tidak salah dengar.
“MEREKA MENGANGGAP SAYA GILA!” Azzam mengulang lagi perkataannya, kali ini lebih keras, dan makin banyak pula air mata yang tumpah di pipinya. Bocah itu tergugu.
“Te-tenangkan dirimu, Zam… err, kamu bisa menceritakan kejadiannya padaku secara perlahan-lahan.” Lula mencoba menenangkan. Ia memperbaiki duduknya, meletakkan bokong bulatnya lebih nyaman lagi ke kursi.
“Ini semua karena lukisan bintang jatuh itu!” jawab Azzam lirih.
“Sebentar, aku akan mengambil kertas kosong dan mencatat beberapa poin penting yang kamu sampaikan. Baiklah, humm… lukisan bintang jatuh? Maksudmu sebuah lukisan yang menggambarkan bintang jatuh?” Lula mulai mencoret-coret catatannya. Payudaranya yang besar sedikit berombak saat ia melakukan itu.
“Ya, lukisan bintang jatuh pembawa sial!” seru Azzam, tampak sangat geram.
“Eh, kenapa kamu beranggapan lukisan itu membawa sial?” Lula menatap mata bocah itu yang masih merah dan penuh dengan air mata itu.
“…” Azzam terdiam, matanya lekat memandang wanita cantik yang sekarang ada di depannya. Seperti baru sadar kalau wanita yang berpakaian putih ini adalah Lula kamal, artis sekaligus dokter cantik yang sering ia lihat di TV.
“Azzam?” Lula memanggil, menarik lagi bocah itu ke alam nyata.
“L-lukisan itu, entahlah… ada yang aneh dengan lukisan itu.” bahu Azzam bergidik saat mengatakannya, tapi matanya masih lekat memandang Lula, eh… ralat: payudara Lula. Ya, mata Azzam sedang terarah ke sana sekarang, memperhatikan betapa besar dan menariknya daging kembar itu.
“Aneh bagaimana? Apakah lukisannya terlihat menakutkan?” tanya Lula, tidak menyadari ke arah mana mata si bocah terarah.
“T-tidak, tidak! B-bukan menakutkan… tapi, aneh…” Azzam menelan ludah, dalam pikiran mudanya mulai terbentuk bayangan sepasang payudara yang besar dan putih mulus milik Lula, dengan puting coklat kemerahan seukuran jari yang mencuat indah ke depan.

“Hmm… kamu bisa menceritakannya dengan lebih detail?” Lula menggeser duduknya, menempatkan kedua susunya di atas meja.
Azzam yang melihatnya, jadi makin susah untuk ngomong. “S-saya ceritakan d-dari awal?”
“Ya, ceritakan semuanya, aku siap mendengarkan.” Lula menyiapkan penanya, siap mencatat apapun yang penting.
“Lu-lukisan ini, warisan dari mendiang nenek saya…” Azzam memulai, matanya sama sekali tak berkedip, terus memperhatikan payudara sang dokter yang dirasanya semakin membusung. ”… lukisan yang menggambarkan pemandangan alam di malam hari di suatu padang rumput di daerah pegunungan, dengan fenomena alam berupa bintang jatuh.”
“Lalu apa yang aneh dengan lukisannya?” tanya Lula, jari-jarinya mulai bergerak untuk menulis.
“Susunya… eh, bintangnya…” jawab Azzam gugup, kemontokan payudara Lula membuatnya susah untuk konsentrasi.
“Susu apa bintang?” Lula bertanya menggoda. Senyum yang tersungging di bibir tipisnya makin membuatnya terlihat menarik.
Azzam ikut tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya. “Lukisan itu menggambarkan langit malam kelam dengan sepuluh titik terang berwarna putih yang dapat saya pastikan itu adalah sekumpulan bintang. Salah satu bintang digambarkan lebih rendah daripada sembilan bintang lain dan memiliki ekor di belakangnya. Itu adalah bintang jatuh.” terangnya.
“Sepertinya aku sudah bisa membayangkan bagaimana lukisan itu. Tapi, semuanya normal-normal saja kan?” tanya Lula, catatan di bukunya semakin banyak sekarang.
“Sangat tidak normal! Saat pertama kali saya melihat bintang jatuh itu, Widya, salah seorang teman saya yang paling cantik, diperkosa orang. Akibatnya, dia harus opname di rumah sakit karena kemaluannya robek. Sulit saya terima, karena setiap hari dia selalu diantar jemput sopir.” membayangkan paras Widya yang cantik, ditambah dua bulatan daging milik Lula yang sekarang ada di depan matanya, membuat penis Azzam perlahan menggeliat.
“Ehm… kurasa itu hanya sebuah kebetulan.” sahut Lula. ”Kemana si sopir saat kejadian itu?” tanyanya.
“Mobilnya mogok, jadi agak telat sampai di sekolah. Widya yang tidak sabar menunggu, memilih untuk pulang jalan kaki. Saat itulah dia diperkosa. Pelakunya belum diketahui sampai sekarang. Dan saya yakin, INI BUKAN KEBETULAN!” Azzam membantah, terlihat sangat yakin.
“Apa maksudmu?” Lula bertanya tidak mengerti.
“Setelah kejadian itu, bintang jatuh di dalam lukisan menghilang tanpa bekas.” kata-kata Azzam bergema di ruangan itu.
“…” Lula terdiam, tangannya yang dari tadi sibuk menulis, sekarang berhenti. Ia berusaha mencerna sekaligus membantah keterangan Azzam, tapi dia kehabisan kata-kata. “Serius?” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut manisnya.
“Tentu saja! Saya tidak mungkin salah lihat.” Azzam terlihat sangat emosional, se-emosional penisnya yang semakin tegak membesar.
“Mungkin terkena kotoran yang menempel? Atau…” Lula mencoba memberi alternatif.

Azzam

Tapi Azzam langsung memotongnya. “Tidak mungkin! Karena hilangnya benar-benar alami. Tak ada bekas kotoran atau apa pun. Seolah bintang jatuh itu tidak pernah ada di dalam lukisan.”
“Aneh…” Lula bergumam. Ia meletakkan ujung penanya di pipi, tampak tengah berpikir keras.
“Apa saya bilang!” Azzam mengangguk, matanya makin melotot memandang payudara Lula yang sekarang tidak terhalang tangan. Wuih, benda itu memang benar-benar menggoda. Sudah besar, terlihat sangat bulat lagi. Pasti rasanya empuk sekali, batin Azzam dalam hati. Penisnya makin membesar saja di dalam celana.
“Eh, ya… oke… ini memang aneh, sulit untuk dipercaya. Tapi mungkin saja kamu mabuk saat itu atau…” Lula kembali menekuri catatannya.
“Saya masih enam belas tahun, Dok! Saya tidak mungkin meminum minuman keras!” sela Azzam cepat, merasa dilecehkan.
“Oh, oke… maaf…” Lula tersenyum, dia sedikit memajukan dadanya, membuat bulatan payudaranya makin terlihat membusung.
“D-dokter pasti tak akan percaya akan ceritaku selanjutnya.” dan Azzam menikmati pemandangan indah itu dengan senang hati.
“Tak apa-apa, ceritakan saja!” Lula mempersilahkan.
“…” tapi bukannya membuka suara, Azzam malah sibuk membenahi celananya. Penisnya sudah ngaceng sempurna sekarang, terasa ketat di sela selangkangannya, sakit sekali.
“Jadi?” Lula menunggu dengan senyum di bibir.
Azzam meluruskannya sebentar sebelum akhirnya menjawab. “Enam hari… enam hari sejak kejadian itu, lukisan tersebut menampakkan kembali gambar bintang jatuh.” katanya sambil menghembuskan nafas lega. Penisnya sudah mapan sekarang, terasa lebih nyaman.
“…” Lula tidak berkomentar, hanya tangannya yang bergerak untuk kembali sibuk mencatat.
“Bintang di langit yang semula ada sembilan, mendadak berubah menjadi delapan.” Azzam meneruskan kata-katanya.
“Oke, ini mulai terdengar absurd.” Lula mengutarakan pikirannya.
“Saya juga merasa begitu! TAPI INI SUNGGUHAN!” seru Azzam agak lebih keras, takut dikira berbohong.
“Zam, kamu tidak menggunakan obat-obatan kan?” tanya Lula lembut, dia tidak mau pertanyaannya menyakiti perasaan bocah itu.
“SAYA TIDAK SEDANG BERCANDA, DOK!” tapi tetap saja Azzam merasa tersinggung.
“La-lalu? Apa yang terjadi setelah kau melihat bintang jatuh itu lagi?” Lula mengubah topik.
“Salah seorang teman kecilku… Dia juga diperkosa di rumahnya!” Azzam berkata pedih. Terbayang di pikirannya wajah manis Adelia saat mereka bermain bersama 8 tahun yang lalu.
“Wahahaha, ini tidak mungkin.” Lula tertawa, tapi segera terdiam begitu menatap wajah garang si bocah.

“INI KENYATAAN, DOK!” Azzam sedikit berteriak.
“Tidak, ini kebetulan.” Lula masih tidak percaya dengan omongan bocah itu.
“TIDAK! INI BUKAN KEBETULAN! Berhentilah meragukan cerita saya, Dok!” Atau aku remas susumu! ancamnya, tapi dalam hati. ”Inilah kenapa orang tua saya menganggap saya gila. MEREKA TIDAK PERCAYA AKAN CERITA SAYA!” Azzam kembali ingin menangis.
“Eh… iya… baiklah… biarkan aku berpikir sejenak.” Lula membaca kembali catatannya, mencari apapun yang aneh dan tidak wajar. Dan hasilnya, semua terlihat tidak wajar!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *