Cerita Seks Ngesex Dengan Pengalamanku saat bermain berempat dengan Anna dan keponakannya, Sinta membuat Dicky penasaran. Agaknya ia mendengar dari Anna bagaimana Sinta dan aku bermain begitu rupa, hingga ia yang pernah juga main dengan Sinta dan Anna, suatu ketika meminta istrinya untuk mengajak Sinta dan aku bermalam di rumah mereka. Karena Sinta mau ujian semester selama dua minggu, kami tidak mengusiknya. Kesempatan kami untuk bertemu terjadi pada suatu malam minggu setelah Sintai selesai ujian.
Anna dan Dicky menyiapkan jamuan makan mewah, sebab masakan yang dipesan dari salah satu restoran mahal di bilangan Jakarta ini. Dengan mengenakan celana panjang coklat tua dan kaos berleher berwarna coklat muda, aku tiba di rumah mereka pukul 18 dan melihat Sinta telah ada di sana.
Dicky mengenakan celana panjang hitam dan hem biru muda bertangan pendek. Anna mengenakan gaun warna biru muda, seperti warna hem suaminya, agak ketat membungkus tubuhnya yang seksi, gaun itu tergantung di pundaknya pada dua utas tali, sehingga memperlihatkan sebagian payudaranya.
Sinta tak ubahnya seorang putri, memakai gaun berwarna merah muda, ketat menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan, juga dengan belahan dada agak rendah dengan potongan setengah lingkaran. Keduanya seolah-olah ingin menunjukkan keindahan payudaranya di depanku dan Dicky untuk menyatakan payudara siapa yang paling indah. Payudara kedua perempuan itu memang tidak terlalu besar, tetapi cukup merangsang buatku.
Milik Anna lebih kecil sedikit daripada milik Sinta. Hal itu sudah kubuktikan sendiri ketika mencoba menelan payudara keduanya. Payudara Sinta masih tersisa lebih banyak daripada payudara Anna, waktu kuisap sebanyak-banyaknya ke dalam mulutku.
Kami berempat duduk di ruang makan menikmati jamuan yang disediakan tuan rumah. Hidangan penutup dan buah-buahan segar membuat kami sangat menikmati jamuan tersebut.
Dari ruang makan, kami beranjak ke ruang keluarga. Anna menyetel musik klasik, sedangkan Dicky mengambil minuman bagi kami, ia menuangkan tequila buat Anna dan Sinta, sedangkan untuknya dan aku, masing-masing segelas anggur Prancis, agak keras kurasa alkoholnya. Rona merah membayang pada wajah mereka bertiga, dan kupikir demikian juga denganku, akibat pengaruh minuman yang kami teguk.
Percakapan kami yang semula ringan-ringan di seputar kerja dan kuliah Sinta makin beralih pada hal-hal erotis, apalagi waktu Anna melihat ke arahku dan berkata, “Wah, pengaruh anggur Prancis sudah membangunkan makhluk hidup di paha Agus. Lihat nggak tuh Sin?” Sinta menengok ke bagian bawah tubuhku dan membandingkan dengan Dicky, “Lho, yang satu ini pun sudah mulai bangkit dari kubur, hi… hi….hi…”
Sinta yang duduk di dekatku menyenderkan kepalanya pada bahu kananku. Anna mengajak suaminya berdiri dan berdansa mengikuti irama lagu The Blue Danube-nya Strauss. Entah pernah kursus atau karena pernah di luar negeri, mereka berdua benar-benar ahli melakukan dansa.
Setelah lagu tersebut berlalu, terdengar alunan Liebestraum. Dicky melepaskan pelukannya pada pinggang Anna dan mendekati Sinta, lalu dengan gaya seorang pangeran, meminta kesediaan Sinta menggantikan Anna menemaninya melantai, sementara Anna mendekatiku.
Aku yang tak begitu pandai berdansa menolak dan menarik tangan Anna agar duduk di sampingku memandang suaminya berdansa dengan keponakannya. Rupanya Sinta pun tidak jelek berdansa, meskipun tak sebagus Tantenya, ia mampu mengimbangi gerakan Dicky.
Saat alunan lagu begitu syahdu, mereka berdua saling merapatkan tubuh, sehingga dada Dicky menekan payudara Sinta. Di tengah-tengah alunan lagu, wajah Dicky mendekati telinga Sinta dan dengan bibirnya, ia mengelus-elus rambut di samping telinga Sinta dan dengan kedua bibirnya sesekali cuping telinga Sinta ia belai.
Tatapan Sinta semakin sayu mendapati dirinya dipeluk Dicky sambil dimesrai begitu. Lalu bibir Dicky turun ke dagu Sinta, menciumi lehernya. Kami dengar desahan Sinta keluar dari bibirnya yang separuh terbuka. Lalu ia dengan masih berada pada pelukan Dicky di pinggangnya, mengarahkan ciuman pada bibir Dicky. Mereka berpagutan sambil berpelukan erat, kedua tangan Dicky melingkari pinggul Sinta, sedangkan kedua tangan Sinta memeluk leher Dicky. Permainan lidah mereka pun turut mewarnai ciuman panas itu.
Dicky lalu membuka gaun Sinta hingga terbuka dan melewati kedua pundaknya jatuh ke lantai. Kini Sinta hanya mengenakan kutang dan celana dalam berwarna merah muda. Tangan Sinta ikut membalas gerakan Dicky dan membuka hemnya,
kemudian kulihat jari-jarinya bergerak ke pinggang Dicky membukai ikat pinggang dan risleting celana Dicky. Maka terlepaslah celana Dicky, ia hanya tinggal memakai celana dalam. Lalu jari-jari Sinta bergerak ke belakang tubuhnya, membuka tali kutangnya, hingga menyembullah keluar kedua payudaranya yang sintal.
Keduanya masih saling berpelukan, melantai dengan terus berciuman. Namun tangan keduanya tidak lagi tinggal diam, melainkan saling meraba, mengelus; bahkan tangan Dicky mulai mengelus-elus bagian depan celana dalam Sinta. Sinta mendesah mendapat perlakuan Dicky dan mengelus-elus penis Dicky dari luar celana dalamnya, lalu dengan suatu tarikan, ia melepaskan pembungkus penis tersebut sehingga penis Dicky terpampang jelas memperlihatkan kondisinya yang sudah terangsang.
Dicky mengarahkan penisnya ke vagina Sinta dan melakukan tekanan berulang-ulang hingga Sinta semakin liar menggeliatkan pinggulnya, apalagi ciuman Dicky pada payudaranya semakin ganas, dengan isapan, remasan tangan dan pilinan lidahnya pada putingnya. Sinta terduduk ke karpet diikuti oleh Dicky yang kemudian meraih tubuh Sinta dan membaringkannya di sofa panjang. Dengan jari-jari membuka celah-celah celana dalam Sinta, mulutnya kemudian menciumi vagina Sinta. Erangan Sinta semakin meninggi berganti dengan rintihan. “Dick, ayo sayang ….. ooooohhhh …. Yahhh, gitu sayang, adddduhhhh … nikmat sekali ….. aaakkkhhhh …. ”
Setelah beberapa saat mengerjai vagina Sinta, Dicky berlutut dekat Sinta dengan kaki kanan bertelekan di lantai, sedangkan kaki kirinya naik ke atas sofa, ia arahkan penisnya ke vagina Sinta dari celah-celah celana dalam Sinta. Lalu perlahan-lahan ia masukkan penisnya ke vagina Sinta dan mulai melakukan tekanan, maju mundur, sehingga penisnya masuk keluar vagina Sinta.
Anna yang duduk di sebelah kiriku terangsang melihat Dicky dan Sinta, lalu mencium bibirku. Kubalas ciumannya dengan tak kalah hebat sambil mengusap-usap punggungnya yang terbuka. Anna memegangi kedua rahangku sambil menciumi seluruh wajahku, lidahnya bermain di sana-sini, membuat birahiku semakin naik, apalagi ketika lidahnya turun ke leherku dan dibantu tangannya berusaha membuka kaosku. Kuhentikan gerakannya meskipun ia membantah, “Ayo dong Gus?”
“Tenang sayang …. ” kucium bibirnya sambil menunduk dan dengan tangan kiri menahan lehernya, tangan kananku mengangkat kakinya hingga ia jatuh ke dalam boponganku dan kugendong menuju kamar tidur mereka. Kami tak pedulikan lagi Dicky dan Sinta yang semakin jauh saling merangsang. Kurebahkan tubuhnya di ranjang dan kubuka seluruh pakaianku.
“Cepet banget Gus, udah sampai ke ubun-ubun ya sayang?” tanya menggoda sambil berbaring.
“Udah berapa minggu nich, kangen pada tubuhmu …” jawabku sambil mendekati dirinya.
Kembali kulabuhkan ciuman pada bibirnya sambil jari-jariku mengelus pundaknya yang terbuka sambil membukai kedua tali di pundaknya. Lidahku mencari payudaranya dan mengisap putingnya. Isapan mulutku pada putingnya membuat Anna mengerang dan menggelinjang, apalagi ketika sesekali kugigit lembut daging payudaranya dan putingnya yang indah, yang sudah tegang.
Mungkin karena pengaruh minuman keras dan tontonan yang disajikan Sinta dan Dicky barusan, kami berdua pun semakin liar saling mencium tubuh yang lain satu sama lain. Pakaian kami sudah terlempar kesana kemari. Ciuman bibir, elusan jari-jari dan bibir, remasan tangan, jilatan lidah menyertai erangan Anna dan aku. Kami berdua seolah-olah berlomba untuk saling memberikan kepuasan kepada yang lain.
Apalagi ketika Anna menindih tubuhku dari atas dengan posisi kepala tepat pada pahaku dan mengerjai penisku dengan ganasnya. Vaginanya yang tepat ada di atas wajahku kuciumi dan kujilati, klitorisnya kukait dengan lidah dan kugunakan bibirku untuk mengisap klitoris yang semakin tegang itu.
Setelah tak tahan lagi, Anna segera bangkit lalu menungging di depanku. Rupanya ia mau minta aku melakukan doggy style posisi yang sangat ia sukai. Dari ruang keluarga, kudengar rintihan Sinta dan erangan Dicky. Mungkin mereka sudah semakin hebat melakukan persetubuhan.
Kuarahkan penisku ke vagina Anna. Kugesek-gesekkan kepala penis hingga ia kembali merintih, “Guuussss, jangan permainkan aku! Ayo masukin dong, aku nggak tahan lagi, sayaaaanngg!” pintanya.
Penisku mulai masuk sedikit demi sedikit ke dalam vaginanya. Kupegang pinggulnya dan memaju-mundurkan tubuhnya mengikuti alunan penis masuk keluar vaginanya. Sekitar lima menit kulakukan gerakan begitu, ia belum juga orgasme, begitu pula aku. Kemudian kuraba kedua payudaranya yang menggantung indah dari belakang. Kuremas-remas sambil merapatkan dadaku ke punggungnya. Ia mengerang, mendesah dan merintih.
“Ahhhh ….. sshsshh, ouuughhhh, nikmatnyaaaa …… sayangkuuuuu. ….” Mendengar suaranya dan merasakan geliat tubuhnya di bawah tubuhku, membuatku makin terangsang. Lalu kutarik kedua tangannya ke belakang tubuhnya. Kupegang lengannya dengan sentakan kuat ke arah tubuhku hingga ia mendongakkan kepalanya.
Kedua tangannya berusaha menggapai payudaranya dan meremas-remas payudaranya sendiri. Kami berdua kini dalam posisi bertelekan pada lutut masing-masing, agak berlutut, ia tidak lagi menungging, penisku membenam dalam-dalam ke vaginanya. Rintihan Anna semakin tinggi dan saat kuhentakkan beberapa kali penisku ke dalam vaginanya, ia menjerit, “Aaaaahhhhhh ….. oooooggghhh …..” Penisku terasa diguyur cairan di dalam.
Aku tak kuat lagi menahan nafsuku dan menyusul dirinya mencapai puncak kenikmatan. Ia lalu menelungkup dengan aku menindih punggungnya yang sesekali masih memaju-mundurkan penisku di dalam vaginanya. Keringat bercucuran di tubuh kami, meskipun pendingan kamar itu cukup dingin ketika kami baru masuk tadi.
Kemudian kami berbaring berpelukan, aku menelentang sedangkan Anna merebahkan tubuhnya di atasku. Di ruang sana tak terdengar lagi suara Dicky dan Sinta, mungkin mereka juga sudah orgasme. Tanpa sadar, aku tertidur, juga Anna. Aku terjaga ketika merasakan ciuman pada bibirku. Kubalas ciuman itu, tetapi aromanya berbeda dengan mulut Anna. Kubuka kelopak mataku, kulihat Sinta masih telanjang membungkuk di atas tubuhku sambil menciumi aku. Mataku terbuka lebar sambil memagut bibirnya memainkan lidahku di dalam mulutnya, ia membalas perlakuanku hingga lidah kami saling berkaitan.
Sedangkan Dicky kulihat mendekati Anna dan menciumi payudara istrinya. Anna menggeliat dan membalas ciuman dan pelukan suaminya. Tangannya mengarah ke bagian bawah tubuh Dicky meraih penis suaminya yang sudah melembek. Ia rabai dan kocok penis itu, hingga kuperhatikan mulai bangun kembali.
Sinta yang semula hanya menciumi bibirku dan memainkan lidahnya, menurunkan ciumannya dan mencari dadaku, di sana putingku diciumi dan digigitnya lembut. Lama-lama gigitannya berubah semakin buas, hingga membuatku merintih sakit bercampur nikmat, “Kenapa, sayang? Sakit ya?” tanyanya menghentikan permainannya sambil menatapku. Aku menggelengkan kepala dan memegang kepalanya agar kembali meneruskan ulahnya.
Lidahnya kembali terjulur dan bermain di putingku bergantian kiri dan kanan. Setelah itu, ia turunkan ciumannya ke penisku yang masih ada sisa-sisa sperma dan cairan vagina Anna. Ia lumat dan masukkan penisku ke dalam mulutnya. Penis yang sudah lembek itu kembali tegang mendapat perlakuan mulutnya.
Tangannya memegang pangkal penisku melakukan gerakan mengocok. Bibirnya dan lidahnya juga bermain di testisku dan “Uuuuhhhh ….” aku mendesah, sebab kini lidahnya menjilati analku tanpa rasa jijik sedikit pun. Setelah itu kembali mulutnya bermain di testisku dan memasukkan kedua testis itu bergantian ke dalam mulutnya. Sedotan mulutnya membuat birahiku kembali muncul. Sementara rintihan Anna kembali terdengar. Kuintip mereka, Dicky kini menciumi paha istrinya, sama seperti perbuatan Sinta padaku.
Sinta melihat penisku makin tegang, tetapi kemudian ia melangkah ke bufet kecil di samping ranjang. Tak lama kemudian ia kembali ke ranjang sambil memegang dildo berwarna merah di tangannya. Penis buatan itu memiliki tali yang kemudian ia ikatkan ke pinggangnya sehingga kini Sinta terlihat seperti seorang laki-laki, tetapi memiliki payudara.
>>>LANJUT PART 2<<<