Cerita Seks Bayi Adikku Sudah ada tiga bulan suamiku mengikuti pendidikan untuk mendapatkan alih golongan, Terasa aku begitu gersang. Aku butuh sentuhan seorang laki-laki, terlebih pada malam seperti ini. Haruskah aku mencarinya? Tapi bagaimana caranya?
Malam itu aku tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha menghilangkan kebutuhanku akan seks. Jam sudah
menunjukkan pukul 01.00. Sebentar lagi ayam akan berkokok. Tapi mataku belum juga terpejam. Aku keluar dari kamarku, hanya mengenakan daster miniku. Aku ke kamar mandi karean kamar mandi kami hanya satu dari type rumah 45 itu. Karean udara sangat gerah, aku hanya memakai daster mini yang tipis, tanpa celana dlaam dan Bra. AKu mau keluar dari kamar mandi, aku mendengar ada orang menuangkan air dari termos. Mungkin mau membuat teh atau kopi. Dari suaranya aku tau, dia adalah Marwan. Adikku yang tingal bersamaku sejak setahun lalu.
“Kamu belum tidur, Mar..?” tanyaku.
“Belum. Masih banyak tugas yang belum selesai. Besok harus kumpul,” jawabny tenang. Tatapannya tenang, namun terasa sangat tajam ke sekujur tubuhku. Marwan memakai celana pendek saja, bertelanjang dada. Aku terkesiap melihat dadanya yang bidang. Marwan berusia 20 tahun, mahasiswa arsitektur. Usiaku lima tahun di atasnya.
Lampu memang terang berderang di dapaur kami. Pakaianku yang tipis tanpa kusadari, membuatnya terus tak berkedip. Saat aku sadar kalau tubuhku dari balik daster mini yang tipis pelepas gerah itu, membuatnya matanya tak berkedip, justru sebaliknya aku menjadi semakin bergairah. Tapi…
Marwan adalah adikku. Adik kandungku. Tapi aku sangat membutuhkan sentuhan laki-laki. Tiga hari ini, aku begitu membutuhkannya. Tapi kali ini, aku begitu sangat dan sangat membutuhkannya. Tubuhku sedikit menghangat. Gairah seks ku sangat tinggi malam itu.
Tanpa ragu kudekati adikku. Kurangkul dia dari belakang dan merapatkan tetekku ke punggungnya. Entah darimana datangnya keberanianku itu.
“Mbaaakkk….”
Hanya itu yang terdengar dari mulutnya. Aku meneruskan elusanku ke dadanya dari belakang, sembari menggesek-gesekkan tetekku ke pungungnya. AKu begitu menikmatinya. Dasterku memang sangat tipis dan longgar. Kuciumi tengkuknya dan Marwan hanya mendesah saja, tidak menolakku.udah tak perduli, apakah dia menolak atau tidak.
Tanganku terus meraba perutnya dan menyelusup ke dalam celananya. Baeru saja tanganku memasuki celana pendeknya, aku mengetahui, kalau Marwan tidak memakai celana dalam. Langsung tanganku menyentuh jembutnya dan terus makin ke bawah mengelus kontolnya.
“Mbaaakkk…”
Kulepaskan kancing celana dan memelorotkan celana itu sampai ke bawah.
“Ayo lepaskan dahagi Mbak, dik. Mbak sangat membutuhkannya malam ini,” [pintaku menghiba. Kulepas peljukanku sesaat dan kulepas dasterku. AKu sudah bertelanjang bulat dihadapannya dan celananya sudah kulepas dari tubuhnya.
Kuhadapkan tubuhnya dan aku memaluknya. Tetekku begitu rapat ke dadanya. Kujilati tengkuknya dan kubelai-belai tubuhnya dengan lembut.
“Ayo…dong…”
“Di sini?” tanyanya. Aku mengerti apa maksudnya. Dengan cepat kutarik tangannya ke kamarnya, agar dua anakku yang masih sangat kecil tidur bersamaku di kamar tidurku tidak terganggu. Cepat kututup pintu. Langusng kupeluk dirinya dan kulumat bibirnya dengan buas. AKu sudah tak perduli siapa dia, adik kandungku sendiri.
Aku tahu, vaginaku sudah sangat basah. Kuraba kontolnya yang juga sudah mengeras.
Marwan membalas ciumanku. Lidahku diisapnya dengan lembut dan dipermainkannya dalam mjulutnya. Aku senang sekali. Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku merasakan sekujur tubuhnya menghangat.