Wednesday, December 25, 2024

Cerita Sex Bibi ku yang Nakal dan Senang Mengajakku Mesum (Part 3)

Hari itu dan beberapa hari berikutnya, aku sibuk sekali, hingga lupa akan janji kepada paman. Apalagi, mencari waktu yang pas juga sangat sulit. Aku sekolah seharian, masuk pagi pulang sore. Begitu pulang, bibi sudah bangun dari tidur siang. Kalo malam, kami tidur beda kamar. Dan bibi selalu mengunci pintu kamarnya. Meminta langsung, aku masih takut.

Tapi acara nonton bareng dan kocok mengocok masih tetap rutin kami lakukan. Aku berniat untuk memancingnya saja saat itu, masih menunggu timing yang pas.

Empat hari setelah kepergian paman, bibi terlihat murung. Ia tidak banyak bicara, tapi kurasakan belaian dan kocokannya menjadi lebih nikmat. Aku langsung ingat cerita paman, inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Bibi lagi sange berat.

Esoknya, setelah pulang sekolah, kuajak bibi untuk nonton bareng. “Bibi rindu paman ya?” tanyaku saat bibi mulai membelai dan mengelus-elus batang kontolku. Adegan di TV juga sudah mulai panas. Ini adalah koleksi terbaru paman, film JAV tentang seorang perempuan yang bermain gila dengan adik iparnya. Mirip-mirip dengan kisahku.

”Iya sih,” bibi mengangguk. ”Tapi sebenarnya bukan pamannya yang bibi kangenin,” ia menggantung kalimatnya.

“Apanya, bi?” tanyaku meski sudah tahu jawabannya.

“Ah, kamu pasti gak ngerti. Ini masalah orang menikah.“ rupanya dia masih menganggapku bloon, yang sukanya nonton bokep sambil dikocokin.

Aku sekarang sudah lebih pintar lho, Bi! kataku dalam hati.

”Pokoknya ingin dipeluk aja.” kata bibi menambahkan.

”Dipeluk di ranjang ya, Bi?” tanyaku memancing.

Bibi tampak kaget, tapi lalu tertawa. “Hehehe… kamu tahu aja.” katanya. “Coba kamu bisa bantu bibi ya…” ia menatap wajahku.

”Bantu meluk? Aku bisa kok.” kataku yakin.

Bibi hanya tersenyum mendengarnya. Dia mengocok penisku semakin cepat saat film sudah setengah jalan. Hingga akhirnya aku pun melenguh dan… croot, croot, croot! Pejuhku muncrat membasahi celanaku.

Bibi memandangi celanaku yang bernoda hitam. ”Tambah banyak aja manimu.” komentarnya.

”Iya, Bi. Nggak habis-habis ya, padahal sudah tiap hari dikeluarin.” sahutku bego.

Bibi tersenyum dan bangkit berdiri. “Eh, bibi mau keluar dulu, mau beli bakso. Kamu ikut gak?” tanyanya.

“Gak ah, Bi. Aku tunggu di rumah aja. Aku capek.” ini aku juga heran, sehabis moncrot, aku pasti capek.

Mengangguk mengerti, bibi pun melenggang keluar. “Kamu nitip apa, pangsit apa bakso?” tanyanya sebelum menutup pintu.

”Apa aja, Bi.“ sahutku lirih, mataku sudah mulai berat. Aku ngantuk. Bersandar di sofa, aku pun tertidur. Sementara di TV, film masih terus berputar dengan ajibnya, mempertontonkan sang adik ipar yang sedang menyetubuhi istri kakaknya dengan penuh nafsu.


Sekitar setengah jam aku tertidur. Aku terbangun oleh suara adzan maghrib dari musholla di ujung gang. Film sudah berhenti berputar, TV hanya menampakkan layar biru bertuliskan merk DVD player milik paman. Menguap dan melemaskan badan sebentar, aku pun bangkit dan beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Bibi masih belum pulang.

Keluar dari kamar mandi, kulihat sudah ada bakso dan martabak di meja tengah, ”Ayo makan, mumpung masih panas.” bibi menawarkan. Rupanya ia kembali saat aku masih di kamar mandi.

Setelah berganti pakaian, kami pun makan bersama. Sambil mengunyah, pikiranku penuh dengan rencana-rencana agar bisa meniduri bibi malam ini. Tapi semuanya buntu, tidak ada yang bagus. Hingga ketika nonton TV bersama, justru bibi yang malah melontarkan ajakan. ”Nanti tiduran di tengah sini aja ya, temani bibi. Di dalam panas, bibi nggak kuat.”

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Aku segera mengangguk penuh antusias. Kami kadang memang suka berleha-leha di depan TV, tapi tidak sampai tidur seperti malam ini. Kalau paman dan bibi sih sudah sering tidur disitu, bahkan main juga. Kalau aku, sekali pun tak pernah. Baru malam ini. Dan beruntungnya, bersama bidadari yang siap kunikmati tubuh indahnya.

Sambil menata bantal dan kasur tipis, bibi bertanya. ”Mau nonton sambil dikocokin lagi nggak?” dia menawarkan. Memang, biasanya aku dua kali sehari diservis olehnya. Sore setelah pulang sekolah, dan malam sebelum tidur.

”Nggak usah, Bi. Aku capek.” tapi untuk malam ini, terpaksa aku menolaknya. Aku harus menghemat pejuhku untuk menyetubuhinya nanti. Biar rangsangannya total dan maksimal.

”Tumben?” bibi tampak terkejut dengan perubahanku.

”Ehm, mungkin karena banyak kegiatan di sekolah tadi.” aku berbohong. Saat itu, kami sudah berbaring bersisian di depan TV. Bibi menonton acara reality show tentang ajang pencarian jodoh. Aku sama sekali tidak tertarik. Mataku lebih suka memandangi paha bibi yang putih mulus karena kain dasternya sedikit tersingkap.

Atau dia sengaja menyingkapnya? Karena meski sudah terangkat hingga hampir memperlihatkan celana dalamnya, bibi diam saja. Tampak cuek dan tidak berusaha untuk membetulkannya, membuatku pikiranku yang sudah ngeres jadi tambah kacau.

”Kamu kalau tidur suka bangun nggak?” tanya bibi.

”Nggak, Bi. Aku kalau tidur kaya orang mati. Malah kalau ada yang nampar, nggak kerasa.” kataku berbohong.

“Masa sih?” bibi tersenyum gembira menemukan orang yang sejenis. ”Bibi juga. Malah kalau ada yang merkosa, bibi nggak bakal tahu, hehehe…” katanya.

Aku mengangguk. Selanjutnya kami ngobrol biasa, mulai dari kegiatanku di sekolah hingga rencana masakan bibi esok hari. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kulihat bibi sudah tertidur, sementara aku masih betah nonton bola liga Italy. Dia terlihat nyenyak dan pulas sekali. Nafasnya teratur dan pendek-pendek. Inilah saatnya aku beraksi.

Tanpa mematikan TV, kupandangi paha bibi yang sejak tadi sudah menggodaku. Dengan hanya berbekal penerangan dari dapur, karena lampu ruang tengah sudah kumatikan, aku bergeser ke bawah, menuju paha dan bokongnya. Jantungku berdetak kencang, terus deg-degan saat melakukannya, takut kalau bibi tiba-tiba bangun dan memergokiku. Tapi teringat kata-kata paman, aku terus memberanikan diri.


Rasa penasaran menyergapku saat kupelototi kulit pahanya yang halus dan mulus. Ada sedikit bulu-bulu halus disana, juga urat nadi kehijauan yang semburat tak merata. Kulit bibi tampak putih sekali, begitu bercahaya di tempat yang setengah gelap itu. Aku menoleh, kulihat muka bibi ditutupi bantal dari samping. Dia masih tidur dengan lelapnya.

Pelan, kusingkap dasternya makin ke atas hingga aku bisa melihat… gila! ternyata bibi tidak mengenakan celana dalam. Benar kata paman! Bisa kulihat bulatan bokongnya yang bulat dan sekal, juga lubang anusnya yang mungil dan menghitam, dan ini yang membuatku menahan nafas… lubang senggamanya yang nampak mengintip malu-malu dari celah selangkangannya. Rambut hitam keriting tumbuh rimbun disana.

Sungguh, jantungku berdegup sangat kencang saat itu. Bila selama ini aku cuma melihat kelamin wanita dari video-video bokep, sekarang aku menyaksikannya secara langsung. Dan kalau aku beruntung, aku juga bisa merasakan betapa nikmat benda itu. Ehm, aku jadi tak tahan. Cepat aku melepas celana. Kubebaskan kontolku yang sudah menegang dahsyat untuk mencari mangsanya.

Kulihat bibi masih tertidur pulas, mukanya masih tertutup bantal. Posisi bibi agak menyamping, dengan badan sedikit melengkung. Kakinya agak ditekuk ke belakang hingga seperti menonjolkan bagian memeknya. Sesaat kuletakkan tanganku ke atas jembutnya, untuk memastikan dia benar-benar terlelap atau tidak. Kuraba benda kasar itu dan kutarik-tarik beberapa kali.

Dan ternyata benar. Bibi masih bernafas lembut, dan tanpa merubah posisinya sedikit pun. Paman tidak berbohong, bibi kalau tidur memang kayak orang pingsan. Berseru kegirangan, segera kuraba memeknya. Kali ini lebih keras. Dan bibi tetap tidak bangun.

Rasa takutku hilang sudah, berganti dengan gairah birahi yang menyala-nyala. Tanpa mempedulikan apa-apa lagi, kucoba mencari lubangnya dengan ujung telunjukku. Kutusuk-tusukkan tepat ke bagian tengah hingga aku menemukan belahannya. Kusentuh pelan sekali daging basah yang berlipat-lipat itu. Warnanya agak sedikit menghitam, mungkin karena sering kegesek kontol paman.

Tapi ketika kukuak lebih lebar lagi, warna coklat itu berangsung berubah menjadi merah hati, lalu merah tua, merah darah, dan akhirnya, tepat di kedalaman lubangnya, kulihat lorongnya yang menganga berwarna merah kekuningan seperti warna magma gunung berapi. Terasa basah dan sangat lengket saat kutusuk dengan jariku. Juga hangat dan berkedut-kedut. Ehm, pasti bakalan nikmat sekali kalau penisku yang masuk ke dalam sana.

Segera kudekatkan batang kontolku ke dalam lubang itu. Posisi bibi yang sedikit melengkung dan menyamping, memudahkanku untuk melakukannya. Daster bibi yang tersingkap hingga ke pinggang, kurapikan agar tak mengganggu gerakanku nanti.

”Inilah saatnya.” bertekad dalam hati, aku berusaha mencari lubangnya. Tapi ternyata sangat sulit. Berkali-kali kutekan, tetap tidak masuk-masuk. Ini aku yang goblok, atau apa karena lubang memek bibi yang terlalu sempit ya, jadi tidak bisa menampung penisku?

Masih kebingungan, aku terus menekan-nekan. Berharap keberuntungan, siapa tahu bisa pas dan bisa masuk dengan sendirinya. Tapi kontolku hanya bergeser naik turun, menggesek bibir luarnya berkali-kali. Ugh, susah sekali. Bahkan sampai lima menit berlalu, aku masih belum berhasil. Aku ingin sedikit melebarkan paha bibi, tapi takut dia terbangun.

Tiba-tiba kulihat tangan bibi bergerak, ia meletakkan satu tangan di paha atasnya. Aku sempat cepat-cepat menarik kontolku, takut tersenggol. Tapi saat kulihat setelah itu ia diam, aku kembali mendekatkan kontolku. Kembali aku berusaha memasukkan ke lubang kelaminnya, tapi tetap sulit. Saat itulah, tiba-tiba tangan bibi bergerak. Begitu cepatnya hingga aku tidak sempat menghindar. Dengan lembut dia memegang kontolku, dan sambil melebarkan pahanya, membimbing benda itu untuk memasuki lubangnya.

<<<LANJUT PART 4>>>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *