“Skak” kata Maman seraya menaruh biji caturnya dengan wajah senang.
“Brengsek, kok bisa-bisanya, orang mau ngejebak malah kejebak !” Jono dengan keki menggebrak pelan meja itu.
Malam itu, jam sebelas lebih, cuaca sangat tidak bersahabat.
Sejak jam sebelasan tadi hujan sudah turun dengan derasnya disertai guruh dan petir. Di tempat yang sepi depan pintu kamar mayat itulah Maman, si penjaga kamar mayat dan Jono, si satpam rumah sakit menghabiskan waktunya dengan bermain catur.
Maman (67 tahun), dalam usia senjanya masih kuat bekerja hingga jam seharusnya orang tidur seperti ini walaupun sudah agak bongkok dan beruban. Sudah hampir sepuluh tahun dia menyambung hidup sebagai penjaga kamar mayat di rumah sakit ini, istrinya sudah meninggal tanpa meninggalkan anak.
Kesepian dan suasana angker sudah menjadi temannya sehari-hari, maka mendengar suara-suara aneh dan cerita-cerita seram lainnya sudah tidak membuatnya merinding lagi, istilahnya sudah kebal dengan hal-hal seperti itu. Jono (41 tahun), baru setahun lebih bekerja di rumah sakit ini setelah pindah dari perusahaan sebelumnya yang bangkrut.
Dia seorang pria berbadan tegap dan wajahnya yang sedikit bopengan terkesan sangar, pas untuk profesinya itu. Sungguh, malam itu menjadi malam panjang bagi mereka, suasana hujan dengan angin yang dingin mudah membuai orang hingga ngantuk.
“Weleh, dingin-dingin gini dapet giliran malem” kata Jono lalu meneguk kopinya “padahal enaknya tidur suasana gini mah”
“Hati-hati lu, tidur disini bisa-bisa dicolek-colek yang di dalem sana tuh” canda Pak Maman menunjuk ke kamar mayat.
“Wahaha, Pak Maman mulai lagi deh cerita dunia lainnya”
“Ee…kenapa enggak disini kan kamar mayat, yang aneh-aneh gitu udah sering lah”
“Iya sih apalagi malem-malem gini, di kantor tempat saya dulu juga pernah sih, ya tapi gua sendiri sih belum pernah ngalamin, teman katanya pernah, Eh, omong-omong jam berapa nih Pak ?” tanyanya.
“Wah sepuluh menit lagi jam dua belas nih” jawab Pak Maman melihat jamnya.
“Ya udah, lagi yuk Pak” katanya sambil menyusun kembali biji catur “penasaran saya, pengen belajar ilmunya Bapak”
Pak Maman pun menerima tantangannya dan tak lama kemudian mereka mulai memusatkan pikiran pada papan catur.
Hening sekali suasana disana, bunyi yang terdengar hanya bunyi rintik hujan, angin dan suara biji catur dipindahkan. Tak lama kemudian terdengar bunyi lain di lorong itu, sebuah suara orang melangkah, suara itu makin mendekat sehingga mengundang perhatian dua orang itu.
“Siapa tuh ya, malem-malem kesini ?” tanya Jono yang dijawab Pak Maman dengan mengangkat bahu.
Suara langkah makin terdengar, dari tikungan lorong muncullah sosok itu, ternyata seorang gadis cantik berpakaian perawat. Di luar seragamnya dia memakai jaket cardigan pink berbahan wol untuk menahan udara dingin malam itu. Suster itu ternyata berjalan ke arah mereka.
“Malam Pak” sapanya pada mereka dengan tersenyum manis.
“Malam Sus, lagi ngapain nih malem-malem kesini” balas Jono.
“Ohh…hehe…anu Pak abis jaga malam sih, tapi belum bisa tidur, makannya sekalian mau keliling-keliling dulu”
“Oh iya kok saya rasanya baru pernah liat Sus disini yah ?” tanya Jono.
“Iya Pak, saya baru pagi tadi sampai disini, pindahan dari rumah sakit *****” jawabnya, “jadi sekalian mau ngenal keadaan disini juga”
“Oo…pantes saya baru liat, baru toh” kata Pak Maman.
“Sus ga tau apa, ini kan kamar mayat” kata Jono menunjuk tempat itu, “tuh itu tuh, ga takut ?”
“Ah Bapak, masa suster takut sih sama mayat” jawabnya tersenyum, “lagian saya kan udah disana juga”
Kedua orang itu bengong dan agak kaget mendengar kalimat terakhir, apalagi suster muda itu diam sesaat sambil menatap ke arah pintu ruangan itu.
“Maksudnya sudah biasa disana ngeliat mayat, gitu loh” lanjutnya membuat kedua orang itu bernafas lega.
“Dasar si Sus, saya kira apa, bikin deg-degan aja ah” kata Jono.
“Emang bapak kira apa ?” tanyanya lagi sambil menjatuhkan pantatnya pada bangku panjang dan duduk di sebelah Jono.
“Wow, hoki gua” kata pria itu dalam hati kegirangan.
“Dikirain suster ngesot yah Jo hahaha” timpal Pak Maman mencairkan suasana.
“Hehehe iya dikira suster ngesot, nggak taunya suster cantik” kedua pria itu tertawa untuk menghangatkan suasana.
“Kalau ternyata memang iya gimana Pak” kata gadis itu dengan suara pelan dan kepala tertunduk yang kembali membuat kedua pria itu merinding melihat gelagat aneh itu.
Tiba-tiba gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangan dan tertawa cekikikan.
“Hihihi…bapak-bapak ini lucu ah, sering jaga malam kok digituin aja takut” tawanya.
“Wah-wah suster ini kayanya kebanyakan nonton film horror yah, daritadi udah dua kali bikin kita nahan napas aja” kata Pak Maman.
“Iya nih, suster baru kok nakal ya, awas Bapak laporin loh” kata Jono menyenggol tubuh samping gadis itu.
Sebentar kemudian suster itu baru menghentikan tawanya, dia masih memegang perutnya yang kegelian.
“Hihi…iya-iya maaf deh bapak-bapak, emang saya suka cerita horror sih jadi kebawa-bawa deh” katanya.
“Sus kalau di tempat gini mending jangan omong macem-macem deh, soalnya yang gitu tuh emang ada loh” sahut Pak Maman dengan wajah serius.
“Iya Pak, sori deh” katanya “eh iya nama saya Virna, suster baru disini, maaf baru ngenalin diri…emmm Bapak Jono yah” sambil melihat plat nama di dada satpam itu.
“Kalau saya Suherman, tapi biasa dipanggil Maman aja, saya yang jaga kamar mayat disini” pria setengah baya itu memperkenalkan diri.
“Omong-omong Sus ini mau kemana sebenarnya ?” tanya si satpam.
“Ya itu liat-liat aja, kalau udah ngantuk baru bobo ntar, ga tau nih kok rasanya belum ngantuk aja sih” katanya. “eerr…maaf ada yang punya rokok gak, boleh minta satu”
Mereka tersenyum lalu merogoh kantongnya untuk mengeluarkan bungkus rokok masing-masing.
“Oke deh, saya ambil yang Pak Maman aja, apinya dari Pak Jono” kata Virna karena kedua pria itu dengan cepat menyodorkan bungkus rokok yang sudah dibuka ke arahnya.
Diambilnya sebatang dari bungkus si penjaga kamar mayat lalu disulutkannya pada lighter si satpam.
“Berani juga yah Sus ini, baru masuk udah berani ngerokok” kata Jono sambil memandang wajah cantik yang sedang mengepulkan asap dari mulutnya.
“Iya abis gimana Pak, suntuk banget sih, lagian dikit-dikit aja kok, biasanya sih jarang saya ngerokok gini”
Malam itu mereka mereka merasa beruntung sekali mendapat teman ngobrol seperti suster Virna, biasanya suster-suster lain paling hanya tersenyum pada mereka atau sekedar memberi salam basa-basi.
Merekapun terlibat obrolan ringan, kedua pria itu tidak lagi mempedulikan permainan caturnya dan mengalihkan perhatiannya pada suster Virna yang ayu itu. Sejak awal tadi mereka sudah terpesona dengan gadis ini. Pria normal mana yang tidak tertarik dengan gadis berkulit putih mulus berwajah kalem seperti itu, rambut hitamnya disanggul ke belakang sehingga menampakkan leher jenjangnya.
Tubuhnya yang ramping lumayan tinggi (168 cm), pakaian perawat dengan bawahan sebatas lutut itu menambah pesonanya, dari betisnya yang putih mulus itu sudah terbayang bentuk pahanya yang indah. Jono, si satpam, makin mendekatkan duduknya dengan gadis itu sambil sesekali mencuri pandang ke arah belahan dadanya melalui leher bajunya.
Suasana malam yang dingin membuat nafsu kedua pria itu mulai bangkit, apalagi Pak Maman sudah lama ditinggal istri dan Jono sendiri sudah cerai lima tahun yang lalu dan selama ini ia memenuhi kebutuhan biologisnya hanya dengan pelacur-pelacur kelas pinggir jalan yang tentu saja kualitasnya tidak seperseratusnya suster muda di sebelahnya ini.
Semakin lama mereka semakin berani menggoda suster muda itu dengan guyonan-guyonan nakal dan obrolan yang menjurus ke porno. Virna sendiri sepertinya hanya tersipu-sipu dengan obrolan mereka yang lumayan jorok itu.
“Terus terang deh Sus, sejak Sus datang kok disini jadinya lebih hanget ya” kata Jono sambil meletakkan tangannya di lutut Virna dan mengelusnya ke atas sehingga pahanya mulai tersingkap.