Sore itu aku ke tempat Belinda. Dia tinggal di satu rumah kos berlantai tiga yang lumayan eksklusif. Belinda Adalah Teman Kuliah Anakku Hedy, Kebetulan Belinda meminta bantuanku untuk bikin foto profesional. Aku sendiri memang suka memotret, tapi bukan fotografer profesional. Buatku fotografi cuma hobi. Lumayan untuk ngisi waktu dan kesepian hati sesudah menduda.
Kalau dari cerita Hedy, Belinda itu anak orang kaya atau pejabat di pulau seberang, makanya dia mampu bayar sewa kos yang mahal. Belinda tinggal di satu kamar di lantai tiga. Aku sudah bawa “peralatan tempur”, tas kamera di satu tangan dan tripod di tangan satunya. Belinda membuka pintu.
“Eh, Om Gamal. Makasih ya udah datang. Ayo, masuk,” sambutnya.
Harus diakui, Belinda gadis yang berpenampilan menarik. Kulitnya agak gelap tapi mulus, tubuhnya jangkung, rambutnya kecoklatan alami. Jujur, anakku sendiri, Hedy, kebanting dengan temannya ini. Di cara bicara Belinda, terselip logat yang menunjukkan daerah asalnya. Aku masuk ke kamar kos Belinda lalu melihat sekeliling. Luas dan kelihatan cukup mewah.
“Mau minum dulu, Om?” Belinda menawarkan.
“Oh, gak usah repot-repot,” kujawab basa-basinya.
Ketika itu Belinda mengenakan gaun santai merah bermotif kembang, tanpa lengan dan panjangnya mencapai di atas lutut, dan kedua kakinya dibungkus stoking. Dia juga sudah mengenakan make-up tipis, siap difoto.
“Silakan duduk dulu, Om,” kata Belinda sambil menggerakkan tangan ke arah sofa di tengah ruangan. Aku duduk di sana, Belinda duduk di sebelahku.
“Apa Hedy udah jelasin aku mau difoto gimana?” tanya Belinda.
“Nggak tuh Bel, dia cuma bilang kamu minta difoto.”
“Nah, gini Om,” Belinda tersenyum sementara kedua tangannya saling genggam. “Pacarku, Agus, besok ulang tahun. Jadi emm… aku mau ngasih hadiah buat dia.”
Oh, ternyata hadiah ulang tahun. Buat pacar. Aku jadi nyengir sendiri membayangkan apa yang mau diberikan Belinda buat pacarnya si Agus itu. Dengan malu-malu dan memutar-mutar Belinda menjelaskan hubungannya dengan Agus, dan gagasan foto apa yang mau dia buat. Dia tidak perlu memberitahuku langsung, tapi aku sudah menangkap bahwa Belinda ingin membuat foto sensual untuk pacarnya itu. Aku senyam-senyum mengerti.
“Oke, ayo kita mulai,” kata Belinda.
“Di mana nih fotonya?”
“Kayaknya kalau di balkon bagus juga,” usul Belinda.
Di kamar kosnya ada balkon sempit yang menghadap samping, ke arah rumahku. Lingkungan kami rada sepi, jadi dia tidak perlu kuatir ditonton orang. “Mumpung masih terang.”
“Iya, pakai pencahayaan alami kayaknya bagus juga,” celetukku.
Belinda berdiri dari sofa dan membuka pintu ke balkon. Kupasang tripod dan kukeluarkan kamera. Kubidikkan kamera ke arah Belinda yang sedang menyisir rambutnya di balkon. Agar pemotretan lebih stabil, aku sudah berencana tidak memotret dengan memencet tombol rana di badan kamera, tapi kupasang remote control berkabel cukup panjang ke kamera.
“Udah siap. Kita coba, ya?”
Sore itu berangin. Rambut Belinda yang lurus kecoklatan berkali-kali tertiup menutupi wajahnya. Bando yang menahan rambutnya tidak membantu. Dan—angin dingin itu juga membuatku sadar bahwa Belinda tidak sedang memakai bra. Puting gadis itu mencuat di balik gaun tipisnya…
“Malah jadi ribet nih, Om,” Belinda terkikik sambil mencoba merapikan rambutnya. Anginnya tidak membantu.
“Kalau di sofa aja gimana?” usulku.
Belinda menutup lagi pintu balkon, lalu berjalan dan menjatuhkan diri di sofa ke posisi duduk menyilangkan kaki. Gaunnya tersibak menampilkan pahanya yang mulus. Kupindahkan tripod.
“Oke, kita coba lagi ya. Senyum,” kataku.
Belinda tersenyum malu-malu dan mulai berpose. Aku mulai mengambil beberapa potret. Anak ini ternyata ada bakat juga jadi model, harus diakui dia pintar membawa diri di depan kamera. Dan kuperhatikan juga pose-nya makin lama makin menggoda. Pahanya yang mulus itu dia umbar. Satu kali dia sengaja merenggangkan pahanya cukup lebar, sehingga celana dalamnya mengintip.
Setelah mengambil kira-kira dua belas foto, Belinda bilang dia mau ganti baju. Dia masuk ke kamarnya sementara aku melihat foto-foto yang barusan. Ketika Belinda keluar lagi, aku kaget melihat penampilannya yang lebih seksi. Dia sekarang mengenakan atasan tank-top tipis putih (sehingga payudaranya terlihat membayang) dan rok mini hitam tipis berenda.
Mukanya memerah waktu dia sadar aku memandanginya, tapi tak lama kemudian tanpa malu-malu dia kembali berpose. Aku sendiri sudah beberapa kali memotret foto seksi, jadi biasa saja dengan penampilan dia. Meskipun harus diakui juga tubuh Belinda pasti menggiurkan laki-laki normal manapun yang memandangnya.
Rasanya nggak profesional, tapi aku terangsang juga. Apalagi pose-posenya makin lama makin seksi. Berdiri berkacak pinggang dengan kaki merentang. Menggoda dengan memerosotkan satu tali bahu tank-top. Atau menaikkan tank-top sampai batas bawah payudara.
“Aku ganti kostum sekali lagi ya Om,” kata Belinda sambil tersenyum nakal.
Dia masuk kamar sementara aku berusaha meredakan sensasi yang mulai muncul. Celakanya, Belinda justru muncul dengan satu set lingerie pink-hitam, bra dan celana dalam. Lama-lama aku merasa iri juga dengan si Agus pacarnya itu. Belinda pasti cinta berat kepada dia, sampai-sampai mau ngasih hadiah foto-foto seksi seperti ini.
Kali ini Belinda berposisi merangkak di atas sofanya, dan dia sudah melepas bando sehingga rambut panjangnya jatuh membingkai wajahnya. Belasan foto kuambil selagi Belinda bergonta-ganti pose, dan lensa kameraku menikmati mulusnya kulit dan bulatnya bokongnya.
Ekspresi Belinda sulit digambarkan, malu-malu sekaligus berani. Dia menatapku dan aku mengangguk tersenyum. Biarpun pekerjaan ini pasti tidak dibayar, foto-fotonya saja sudah jadi imbalan yang memadai.
“Oke, udah cukup banyak nih. Kamu mau lihat?” Kuhentikan sebentar sesi pemotretan.
Belinda langsung beranjak dari sofa ke sampingku di belakang kamera. Dia cukup dekat sehingga aku bisa mencium wewangian yang dia pakai. Kami melihat satu per satu foto yang sudah diambil.
“Seksi nggak, Om?” pertanyaan Belinda telak, tapi anehnya tidak membuatku terkejut.
“Ya… lumayan,” jawabku setengah jujur. Takutnya kalau kujawab ‘iya, seksi banget’ dia bisa tersinggung.
“Tahu nggak, Om, semua yang kupakai hari ini tuh hadiah dari Agus. Makanya aku rancang balasannya seperti ini, foto-fotoku pakai baju dari dia. Dia bakal suka kan, Om?” kata Belinda.
Dari celetukan itu saja aku bisa menakar hubungan antara Belinda dan Agus. Jelas cukup akrab dan intim sehingga Agus tak sungkan memberi hadiah pakaian dalam seksi untuk pacarnya. Berani taruhan, mereka berdua pasti sudah berhubungan badan. HP Belinda yang dari tadi ada di atas meja berbunyi. Belinda mengambilnya, dan melihat siapa yang menelepon.
“Agus,” katanya sambil tersipu.
Dia menjawab panggilan telepon sambil berdiri agak jauh dari posisiku. Masih mengenakan set pakaian dalam pink-hitam yang diberikan si penelepon.
“Halo sayang…”
Aku tidak menyimak obrolan mereka, daripada nguping lebih asyik melihat-lihat lagi foto-foto seksi Belinda. Rasanya tidak sabar ingin memindahkan semuanya ke komputer biar bisa ditampilkan di layar yang lebih besar. Tapi secuplik-secuplik kata-kata sepasang kekasih itu terdengar juga.
“Lagi… difoto.”
“Kamu lagi ngapain yang?”
“Apa…?”
“Kok… kok gitu sih?”
“Kok kamu gitu sih??”
“…”
“Brengsek!!”
Heh? Kok jadi begini? Belinda membanting HP-nya, lalu dia berlari masuk kamar dan membanting pintu. Terdengar jeritan. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku cuma duduk bengong di tempat. Beberapa menit kemudian Belinda kembali, sesenggukan dan matanya basah.
“Maaf, Om…*hiks*” ujarnya di sela isak tangis.
“Nggak apa-apa, Bel… Kabar kurang enak kah…?”
“Parah Om…” kata Belinda dengan nada pilu. “Dia… Agus… tega banget dia. Padahal aku udah percaya banget ama dia… sampai aku rela ngasih semuanya buat dia…”
(Betul kan dugaanku tadi? Perawannya Belinda sudah diambil sama si Agus.)
“Tapi tadi dia putusin aku!”
“Eee…”
“Dia ngaku dia jalan sama cewek lain, teman sekampusnya. Udah sebulan. Padahal… aku kurangnya apa…?? Huu~hhh…” Air mata Belinda kembali mengalir.
Di depanku ada seorang gadis yang menangis. Mau bagaimana lagi. Refleksnya laki-laki ya pasti akan berusaha menghibur. Dan tahu-tahu saja aku sudah merangkul Belinda, mengusap-usap punggung dan rambutnya. Belinda membenamkan mukanya ke dadaku.
“Kenapa ya Om…” isak Belinda. “Kenapa si Agus tega ninggalin aku?”
Mana aku tahu? Tapi ya aku nggak tega bilang begitu sama Belinda yang sedang sedih dan shock. Tapi, ya, Belinda baru umur 18. Agus, yang anak kuliahan juga, pastinya seumuran. Cowok umur segitu masih labil. Bisa saja si Agus bosan, atau nemu tantangan baru, atau takluk sama rayuan cewek yang lebih agresif—
“Tadi dia bilang dia sekarang udah jadian sama Viani… Viani tuh temen sekampusnya… dasar brengsek, dia selama ini bilang Viani temen biasa aja… *hiks* cewek kurang ajar, mentang-mentang bisa ketemu setiap hari… Apa dia gak tau Agus udah punya aku? Uhh… huhuhu…”
Susah juga berusaha menenangkan Belinda sementara celanaku mulai terasa sempit tidak karuan gara-gara tubuh Belinda yang cuma pake lingerie nempel ke tubuhku—
“Om…” tanya Belinda, “Sebenarnya aku cantik nggak sih?”
Waduh. Pertanyaan bahaya.
“Iya, Bel, kamu cantik kok. Cantik banget.”
Waduh. Kok aku jawabnya begitu? Wajah Belinda yang tadi menempel di dadaku sekarang menghadap langsung ke wajahku.
“Bener, Om…?” pertanyaannya menuntut kepastian.
Aku mengangguk. Duh, wajahnya terlalu dekat.
*cup*
Tiba-tiba saja Belinda mengecup bibirku.
“…hmm…” desahnya.
Waduhhhh,.tampangku pasti sudah seperti orang bego. Aku melongo gara-gara tindakan Belinda barusan. Ini… mestinya… salah nggak sih? Terima ciuman dari cewek yang seumuran dengan anakku sendiri? Pacar orang pula. Eh, tunggu. Dia barusan diputus pacarnya.
Jadi sudah mantan pac—Sebelum pikiranku sempat melanjutkan, Belinda sudah meneruskan kecupannya tadi dengan ciuman yang lebih hangat. Bibir dan lidahnya memaksa bibirku menerima. Ciuman seseorang yang sedang tertekan dan butuh pelampiasan. Dan bibirku tidak melawan.
Ada bagian otakku yang langsung menjerit melarangku macam-macam, tapi suara bagian itu dibungkam bagian lain yang menyuruh menikmati saja. Lagipula ciuman Belinda sungguh nikmat… sampai-sampai aku merangkul pinggangnya erat-erat, enggan melepas dia ketika dia melepas bibirnya dari bibirku.
Belinda tersenyum sesudah ciuman itu. Dia mengelus dadaku.
“Om,” bisiknya, “Aku tanya lagi. Menurut Om aku seksi nggak?”
“Nggak, eh, iya, kamu seksi, Bel. Dari pertama kali masuk juga aku udah perhatiin.”
Kacau… Jawabanku nggak terkontrol. Belinda nyengir malu-malu lagi mendengarnya.
“Om… aku masih mau ngirimin foto ke si Agus, tapi foto lain lagi. Biar dia tahu rasa. Masih mau bantuin aku kan, Om?”
“Hmm… kayak gimana nih?” Aku mulai menebak-nebak.
“Aku pengen bikin foto yang bakal buat dia jealous. Biar dia nyesel mutusin aku,” kata Belinda sambil tersenyum nakal. Dia kembali naik ke sofa. Lalu dia membuka bra-nya sehingga payudaranya terlihat.
“Biar ngiler dia lihat ini,” gumam Belinda, nadanya penuh dendam. Nggak usah si Agus, aku saja sudah ngiler melihatnya. Kupotret dia satu kali.
“Coba lihat, Om,” Belinda mendekat, memeriksa foto yang barusan diambil. Kuperhatikan di foto itu ekspresi matanya tajam sekali.
“Ah… kurang. Agus udah tahu aku kayak apa kalau telanjang. Huffh…”
Tapi aku baru tahu, Bel.
“Jadi gimana nih?” Emm, sebagai ayah temannya, apa aku mestinya ngasih nasihat yang lebih bijak? Bukan malah ikutan apapun yang dia rencanakan?
“Kalau dia bisa ngerangkul cewek lain, aku juga bisa nyari cowok lain,” kata Belinda. “Om… apa Om keberatan sama ciumanku tadi?”
“…”
“Aku… mau minta bantuan Om yah?”
Suara kecil di otakku yang dari tadi memperingatkan sudah tenggelam ditelan aliran darah yang menggelora ke seluruh tubuh dan kemaluan…
“Kamu… perlu apa, Bel?”
“Aku mau foto sama Om. Biar Agus cemburu.”
“Oke… foto kayak gimana tapinya?”
“Kameranya ada remote control kan? Sini Om, duduk di sebelah aku,” Belinda kembali duduk di sofa, menyediakan tempat di sampingnya.
Aku jaga-jaga dulu. “Bel, aku ga masalah, tapi nanti mukaku sendiri kusamarin ya? Aku ga mau aku sendiri kena masalah sama Agus atau yang lain.”
“Gak masalah Om,” kata Belinda tegas. Aku jalan ke sofa dan duduk di sebelah Belinda.
“Om rangkul aku sambil pegang tetek aku ya.”
Siapa juga yang bakal nolak? Aku duduk di sebelah kiri Belinda, jadi kulingkarkan lenganku ke belakang punggungnya dan tanganku menjamah payudaranya. Hangat, empuk, dan pentilnya terasa keras di antara jariku.
“Oke, foto.”
Kupencet tombol remote dengan tangan kiri. Belinda langsung memeriksa hasilnya.
“Kurang… Barangkali kalau lebih mesra lagi?” komentarnya.
“Misalnya seperti gimana?”
“Mungkin kalau aku pegang burungnya Om?”
“Emm…” Tapi sebelum aku bisa menjawab, Belinda malah sudah berinisiatif membuka resleting dan merogoh ke dalam celana. Dia tarik penisku yang sudah ereksi keluar dari celana dalam.
“Wah… Panjang banget Om… Punya si Agus aja cuma sepanjang pangkal kepalanya punya Om. Pasti bakal bikin dia ngiri!” Belinda menggenggam pangkal kejantananku sambil menoleh ke arah kamera, lalu berkata, “Foto Om.”
Aku memencet tombol. Belinda langsung memeriksa hasilnya.
“Hmm, lumayan, kayak kelihatan lagi ngocokin Om.”
Sebenarnya belum, karena tangan Belinda diam saja tadi.
“Ah, gini aja! Aku duduk di pangkuan Om.” Lalu dia benar-benar mau lakukan apa yang dia katakan. “Om buka baju ya?”
Dan aku masih terus mengikuti apa maunya. Kubuka baju dan celanaku, sementara dia sendiri melepas celana dalamnya.
“Celana dalamnya juga sekalian Om,” pinta Belinda.
Kupelorotkan celana dalamku, lalu aku duduk kembali. Belinda lalu duduk mengangkang di pangkuanku, memunggungiku. Kemaluanku mencuat di depan perutnya.
“Ah, nanggung. Sekalian aja bikin kayak aku mau dientot sama Om, ya?”
Huihh… makin lama makin parah. Atau makin asyik? Sekarang Belinda mengangkat sedikit tubuh bawahnya, mengangkang di atas ereksiku. Dia menggenggam kepala burungku, menaruhnya di depan bibir kemaluannya. Ketika dia melepas genggaman, penisku malah terkulai ke depan.
“Eh, kok malah copot… Mesti dijepit nih…”
Dia meraih kepala burungku lagi, kali ini mendorongnya ke dalam lipatan bibir vagina yang terasa lembab.
“Foto Om,” katanya.
Terdengar suara klik dari tombol remote yang kutekan. Tapi pada saat yang sama kurasa jepitan kemaluan Belinda bergeser menelan seluruh kepala burungku.
“Foto lagi,” suruhnya.
Dia turun makin jauh, mulutnya mengeluarkan suara mendesis. Sekarang sudah setengah batangku di dalam vaginanya.
“Bel?” tanyaku dengan agak khawatir. “Kayaknya kalau begini udah bukan pura-pura lagi deh?”
“Aku tahu, Om. Biarin aja. Foto terus.”
Tubuh Belinda turun lagi. “Uunhh…” lenguhnya selagi akhirnya keseluruhan kejantananku masuk ke dalam kewanitaannya. Sial… kejadian juga kan, aku nyodok cewek yang seumuran anakku…
“Om pinjam remote kameranya…” kata Belinda sambil terengah. Untungnya dia tidak bergerak-gerak, tapi batangku terasa nyaman dalam jepitan daging kemaluannya yang hangat. Belinda mengambil sendiri beberapa foto, lalu dia bertanya. “Eh kameranya bisa rekam video juga nggak?”
“Emm, bisa sih, pake tombol yang itu…” sambil kutunjukkan tombol untuk mengubah kamera ke mode video dan merekam. Belinda langsung mencobanya. “Udah bisa kan?”
Posisi kamera tepat di depan Belinda, sehingga wajahku ketutupan. Satu lampu kecil di kamera menyala, menunjukkan sedang merekam video. Belinda menatap ke lensa kamera, mencibir, mengacungkan jari tengah ke arah lensa. Lalu dia mulai bergerak naik turun.
“Eh, eh…” Aku kaget juga. Gawat, si Belinda sekarang tidak cuma bikin foto seksi tapi juga video porno dan aku ikut jadi pemerannya??
“Oh, oh… oohh…” desahan dan lenguhan Belinda mulai terdengar. Tanganku bergerak sendiri menggenggam pinggang Belinda dan meremas payudaranya dari belakang.
“Oh… terus Om… panjang bangeth… ssh…”
“Ah… oh… aduh dalam banget… Bel ga pernah dimasukin sedalem ini Om…”
Sudah kepalang tanggung, nasi sudah jadi bubur, kumakan saja buburnya sekalian. Sekarang kedua tanganku meremas-remas buah dada Belinda dan menarik-narik kedua putingnya. Ulekan pinggul Belinda makin gencar di pangkuanku. Sudah lama aku tidak bersetubuh… dan sekalinya bersetubuh, dapat yang seperti ini.
“Ah… Bel, Om mau keluar, ayo kamu cabut…”
Untung Belinda cepat bereaksi. Dia langsung melepaskan diri, tepat ketika spermaku muncrat dari batang yang sedang tegak itu. Nggak lucu kan kalau keluar di dalam, terus tahu-tahu dia hamil. Mau taruh di mana mukaku depan Hedy kalau teman baiknya dihamili papanya sendiri.
Semburan pejuku rupanya cukup kencang sehingga menerpa sampai dada dan muka Belinda. Aku nggak terpikir untuk bertanya dia dapat orgasme atau tidak; sepertinya belum. Belinda menyetop fungsi perekam video, lalu duduk di depan kamera sambil masih memegang remote, dan beberapa kali memotret dirinya sendiri.
“Gimana… Udah cukup, Bel?” tanyaku.
“Kayaknya udah Om. Langsung pindahin ke komputerku aja ya?”
Belinda berjalan terhuyung-huyung ke kamarnya. Aku ikut. Foto-foto dan video yang kami ambil langsung pindah ke komputer Belinda. Lalu sambil bersantai, kami lihat satu per satu foto yang diambil, mulai dari Belinda yang masih bergaun motif kembang sampai foto-foto terakhir yang ternyata memperlihatkan cipratan benihku di muka dan dada Belinda. Kami juga menonton video pendek yang tadi Belinda ambil.
“Hihihi, Om bisa muncrat sampai jauh begitu yah,” goda Belinda sambil mencubit lenganku. Aku ketawa-ketawa saja.
“Jadi… mana yang mau dikirim buat Agus?” kutanya.
“Nggak satupun,” kata Belinda. “Dipikir-pikir, buat apa juga. Paling-paling dicuekin. Biar aja dia sama si Viani. Foto-foto ini biar kusimpan aja ya, Om?”
“Silakan aja. Berarti mukaku masih perlu disamarin nggak?”
“Buat apa… Kan yang bakal lihat cuma kita berdua,” goda Belinda sambil mengecup pipiku. Sebagian besar foto yang sudah pindah ke komputer Belinda kuhapus dari memori kameraku; kusisakan sedikit saja foto Belinda yang berpakaian lengkap, untuk ditunjukkan ke Hedy kalau perlu. Wah, bakal jadi bagaimana hubunganku dengan Belinda?