Wednesday, December 25, 2024

Malam Pertama

‘ah… ah… arrgh… sakiiittt. pelan-pelan…’

‘hayo lagi ngapain kamu ?!’, tiba-tiba suara mamahku mengagetkanku malam itu. Aku lupa mengunci kamar.

‘ee… enggaakk…’, jawabku kaget sambil tanganku dengan cepat menutup layar laptop di depanku.

‘udah gede masih aja nonton begituan’, kata mamahku lagi, ‘nih ada surat buat kamu’

Aku yang sangat malu, hanya terdiam dan mengambil surat di tangan mamahku itu.

‘dah malam, tidur’

‘ee… iya mah’

‘tuh… itu tuh… yang itu lupa ditutup’, kata mamahku tersenyum kecil sambil membalikan badannya dan meninggalkanku sendiri di kamar.

Aku tersadar akan sesuatu. Ada yang lupa aku tutup.

‘sayaaangg… sayaaanggg… sayaaangg’, kata Arina yang tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunanku tadi.

‘sayaang… kamu di dalam kan? buruan yang lain udah siap nih’, kata Arina lagi.

‘ee… iyaa… iya sayang bentar lagi aku beres’

‘kalau masih belum hilang, minum obat aja sayang’

‘hhmm… enggak usah sayang. Paling cuma grogi aja. kayak kamu gak tau aku aja’ jawabku dari balik bilik toilet itu.

‘ya udah buruan’

Arina adalah pacarku. Maksudnya tunanganku. Maksudnya istriku. Lebih tepatnya, calon istriku. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Arina. Kami sudah berpacaran selama 4 tahun. Aku kenal Arina ketika kami sama-sama ikut program pertukaran pelajar ke China.

Arina adalah seorang cewe Bandung keturunan Chinese. Dia anak pertama dari sepasang suami istri yang berprofesi sebagai seorang pendeta di salah satu gereja di Bandung. Sebagai seorang wanita, Arina memiliki tinggi tubuh yang ideal untuk seorang wanita, yaitu 165 cm. Setiap sore hari, Arina selalu menyempatkan waktu minimal 30 menit untuk pergi ke tempat gym. Jadi gak heran kalau dia punya tubuh yang seksi juga.

Kalau boleh jujur, aku sangat grogi hari ini. Di hari pernikahanku. Aku gak menyangka kalau hari ini akhirnya datang juga. Permasalahannya bukan di umur. Umurku sekarang sudah 30 tahun, dan itu ideal. Permasalahannya juga bukan di ekonomi. Aku sudah punya jabatan yang cukup bagus di salah satu perusahaan telekomunikasi terkenal di Jakarta. Selain itu, aku juga punya bisnis kecil-kecilan.

Tapi yang buat aku benar-benar grogi adalah kalau aku gak menyangka aku bisa ada di posisi ini sekarang. Aku akan menikahi seorang wanita, akhirnya. Tumbuh sebagai seorang bocah ingusan yang selalu duduk di depan laptop. Hari ini. Beberapa jam lagi. Semua bayanganku. Semua lamunanku itu. Semua gambar-gambar di layar laptop itu akan terjadi dengan orang yang aku sayang, beberapa jam lagi.

‘krriiiingg… kriiingg…’, tiba-tiba ringtone handphone-ku berbunyi memecahkan lamunanku di dalam bilik toilet itu. Sebuah panggilan masuk dari Sasa. Sasa adalah mantan pacarku.

‘ngapain kamu telepon? Kamu gak tahu ya kalau aku…’, jawabku sambil berbisik. Takut kalau ada yang mendengar

‘kangen’, kata Sasa memelas.

‘gila kamu ya… Kita udah bahas ini minggu lalu. Hari ini, aku nikah!!’, jawabku lagi sedikit mengancam

‘tahu… tenang aja kok. Aku kan emang udah gak ada perasaan apa-apa sama kamu. Aku cuma kangen dipeluk sama kamu dari belakang kalau aku lagi tidur. Aku cuma kangen ciuman kamu’, jawab Sasa sedikit memelas.

‘gila ya kamu… mintalah sama cowomu. Kita udah bahas ini ya, sa’

‘kan kamu tahu. Cowok ku lurus banget orangnya. Dia gak mau begituan kalau belum nikah’, jawab Sasa lagi

‘Sa. Ini gak sehat ya. Aku bentar lagi mau nikah. Kalau kemarin selama pacaran, oke. Walaupun itu salah. Tapi, aku gak mau pas aku udah nikah sama Arina. Aku udah janji sama diriku sendiri’ jawabku lagi, ‘Aku sayang banget sama Arina, sa’

‘iyaa aku tahu… sori… Tapi aku gak siap aja kalau tiba-tiba kita bener-bener harus berpisah gini’

‘Sa. please. kita udah bahas ini’

‘sayaangg… masih lama?’, tiba-tiba Arina memanggilku sambil mengetuk pintu toilet.

‘ee… iya sayang. udah kok’, jawabku sekenanya

‘ya udah sa. Sampai jumpa’, jawabku ke Sasa sambil berbisik takut kedengaran Arina. Aku langsung mematikan handphone dan keluar dari bilik toilet itu.

Di depan pintu toilet sudah berdiri seorang wanita sangat cantik dengan gaun putihnya yang panjang terurai di bagian belakang.

‘kamu bener gpp?’, tanya wanita itu yang adalah Arina

‘iya sayang gpp’, jawabku tersenyum ke wajahnya dan mencium bibir merahnya setelah itu.

‘kamu siap?’, tanya Arina yang memegang tanganku.

Aku hanya tersenyum melihat ke arah Arina. Kami berdiri di balik sebuah pintu utama gereja itu menunggu sang announcer memanggil kami masuk. Aku melihat ke belakang, berdiri papah mamah Arina dan juga papah mamahku di belakangnya. Di belakangnya, berdiri juga adik perempuan Arina dan juga beberapa saudara-saudara kami.

Tidak sampai satu menit, tiba-tiba terdengar,’mari kita sambut… pasangan berbahagia hari ini, Anton dan Arina…’

Pintu gedung gereja itu tiba-tiba terbuka. Sorotan lampu langsung mengarah ke kami. Semua orang berdiri di samping karpet merah yang mengarah ke mimbar gereja. Semua orang yang datang berteriak dan bertepuk tangan. Untuk beberapa detik, aku terdiam kaget.

‘sayang, ayo…’, kata Arina sambil berbisik

Aku tersadar. Aku melihat ke arah Arina, dan melangkahkan kakiku masuk. Cahaya terang dari lampu sorot itu masih terus menyorot ke arah kami sehingga membuatku sedikit susah melihat dengan jelas orang-orang yang berdiri. Aku hanya tersenyum ke mereka semua.

Hari ini terasa mimpi yang tidak pernah aku mengira akan benar-benar terjadi. Selama perjalanan dari pintu masuk gedung sampai ke depan, aku masih bertanya-tanya ‘apakah ini nyata?’ Aku masih merasa ini semua adalah mimpi. Sampai akhirnya sang pedeta berkata,’… apakah anda bersedia?’, seolah-olah menyadarkan aku dari perasaan seperti mimpi itu.

Aku yang masih sedikit bengong seolah tidak percaya, tiba-tiba si pendeta kembali bertanya, ‘Anda bersedia?’

Aku sedikit terkejut lagi. Aku melihat ke arah Arina. Dia seolah memberi kode untuk segera menjawab pertanyaan dari si pendeta.

‘ee… iya. iya saya bersedia’, jawabku.

Pendeta itu mengucapkan doa berkat atas kita dan berkata, ‘you may kiss the bride’

Aku yang masih tertunduk setelah doa berkat itu, lalu melihat ke arah pendeta itu untuk menunggu apa yang dia ucapkan. Lalu, aku melihat ke arah Arina yang tersenyum sangat lebar. Aku melihat wajah yang sangat bahagia sambil air matanya menetes. Aku tersenyum balik ke wajahnya. Aku menciumnya.

Hari ini berjalan cukup panjang dan melelahkan. Kami harus sudah bangun pagi-pagi benar untuk make up dan persiapan. Seluruh proses pemberkatan di gereja dan resepsi pada malam harinya, akhirnya semua itu selesai.

Jam sudah menunjukan pukul 10 malam, badanku sudah terbaring di atas kasur. Kemeja yang tadi aku pakai untuk resepsi masih melekat di tubuhku. Pandangaku tertuju ke langit-langit kamar hotel di mana kami menginap malam ini. Kebetulan, kami memang sengaja tidak hanya memesang gedung untuk tapi resepsi tapi juga kamar untuk 2 malam. Di pandangan itu seolah-olah muncul pertanyaan, ‘apakah semua ini nyata?’ Aku masih terdiam dan terus memandangi langit-langit kamar itu seolah tidak percaya kalau aku sampai di momen ini.

Kamar hotel kami cukup besar. Mungkin lebih tepatnya, seperti apartement karena tidak hanya kamar tidur di dalamnya. Dari arah kamar mandi, terdengar sesekali bunyi kucuran air shower yang jatuh ke lantai. Aku tidak memperdulikan itu. Aku hanya terus menatapi langit-langit itu. Seolah-olah ada jawaban-jawaban yang aku cari tentang keraguan ini.

Tiba-tiba, Arina keluar dari kamar mandi dan berkata,’sayang…’.

Aku terkejut. Badanku masih terbaring di atas kasur, tetapi mataku langsung tertuju ke arah kamar mandi. Dengan rambutnya masih sedikit basah, dia biarkan terurai jatuh ke pundaknya. Arina dengan handuk yang hanya menutupi bagian dada dan bagian bawahnya, berjalan pelan ke arahku. Sebuah pemandangan yang sangat indah. Aku bisa melihat dengan jelas kaki kecilnya yang mulus melangkah ke arahku.

Arina yang mendekat ke arahku, tiba-tiba sudah naik ke atas kasur dan duduk di sampingku. Aku langsung terbangun. Wajahnya sangat dekat di wajahku. Aku bisa mencium aroma yang sangat harum dari tubuhnya. Tatapan matanya yang dalam memandangiku, seolah-olah menunggu sesuatu. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Wajahnya semakin medekat. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku bisa merasakan hidungnya menyentuh hidungku. Matanya terpejam. Aku juga memejamkan mataku, dan menciumnya. Kami saling berciuman di atas kasur itu. Tangannya langsung bergerak ke arah kancing-kancing kemejaku. Dengan cepat, kemejaku sudah terbuka. Aku langsung melepaskan kemejaku, sambil kami masih berciuman.

Aku merasakan badanku mulai panas. Ada sesuatu yang naik. Ada hormon yang dilepaskan oleh sel-sel otaku. Aku juga bisa merasakan darahku mengalir leibh cepat. Tangan kananku memegang pipi lembutnya, dan tangan kiriku berada di pinggangnya. Aku juga bisa merasakan ada aliran darah yang deras mengalir di tubuhnya.

Setelah lebih dari 5 menit berciuman, badan kami semakin merasakan hangatnya hormon dan darah yang mengalir itu. Aku yang dalam posisi setengah telanjang, gak mau sendirian. Tangan kiri mulai meraba ke arah bagian bawah handuknya dan masuk ke dalamnya. Aku bisa merasakan kalau tubuhnya hanya benar-benar ditutupin oleh handuk itu. Aku bisa merasakan pahanya yang mulus. Tanganku terus bergerak naik. Sampai akhirnya, dia menghentikan tanganku.

Dia menatapku dengan ragu dan berkata, ‘sayang…’

Selama 4 tahun pacaran, kami memang hanya sebatas cium bibir. Kami memang benar-benar berkomitmen untuk menjaga hubungan pacaran kami. Walaupun tinggal di Jakarta dan jauh dari orang tua, Arina selalu menjaga dirinya dengan baik. Dari pertama kali aku kenal Arina, aku tahu kalau dia tipe wanita yang baik-baik. Dia yang selalu menjaga hubungan pacaran kami hanya sebatas ciuman, ketika aku mulai berpikir yang aneh-aneh.

Bibir Arina memang bukan bibir pertama yang aku cium. Malam ini juga bukan pertama kalinya, aku bisa menggambarkan tubuh wanita yang tidak ditutupi sehelai benang-pun.

Sebelum bertemu dengan Arina, aku bukan orang yang bisa menjaga kekudusan sebuah hubungan pacaran. Mungkin karena kebiasaanku di depan laptop itu sejak SMP. Namun, ketika aku bertemu dengan Arina, aku janji mau berubah. Aku merasa kalau aku mau menikah dengannya. Aku harus bisa jaga itu. Terlebih, Arina yang juga anak dari seorang pendeta, hubungan kami sangat dilihat banyak orang.

Karena ini pertama kalinya, aku akan berhubungan intim dengan Arina, aku juga merasa sedikit tegang. Namun, aku berusaha untuk menenangkan dan meyakinkan dia.

‘kenapa sayang? kamu takut? Itu wajar. Ini pertama kali juga buat kita’, jawabku mencoba menenangkan dia,

‘kalau kamu belum siap, gpp.’, kataku lagi.

‘mmmh… bukan sayang’, jawabnya dia lagi, ‘tapi…’

Aku bisa membaca dari raut wajahnya, nampak ada sesuatu yang dia sembunyikan dan ingin dia katakan. Tatapannya seolah mau mengatakan dan menginginkan sesuatu. Dia hanya tersenyum. Lalu, dia tiba-tiba kembali mencium bibirku lagi sambil matanya melirik ke arah pintu kamar dan kembali fokus ke bibirku. Pintu kamar itu terbuka dan ada seorang wanita melangkah masuk ke dalam.

Aku yang masih fokus mencium bibirnya, kaget melihat wanita itu melangkah ke arah kami. Wanita itu juga hanya berbalutkan handuk di badannya. Dia terus berjalan ke arah kami sambil melepaskan ikatan handuknya. Handuknya perlahan jatuh. Aku bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang tidak ditutupi sehelai benangpun.

Walaupun hanya ada satu lampu tidur yang menyala di kamar itu, tapi aku masih bisa melihat jelas wajah wanita itu. Dia adalah adik Arina.

Aku yang masih berciuman dengan Arina, bingung, dan tidak bisa menjelaskan apa yang aku lihat dan terjadi sekarang. Aku melihat ke Arina. Matanya yang terpejam sambil dia menciumku, terbuka melihatku, dan kembali terpejam menikmati bibirku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *