Aku sudah tiga tahun ikut dengan keluarga Budhe. Saat itu usiaku sudah 15 tahunan dan Mbak Ningsih yang usianya tiga tahun di atasku sudah kelas 3 di salah satu SMK swasta di kotaku. Pada saat itulah aku pertama kali mengenal apa yang namanya seks.
Kejadiannya berawal dari suatu siang kira-kira setengah tahun setelah meninggalnya Budhe Harti. Saat itu sekolahku dipulangkan sebelum waktu biasanya. Semua murid dipulangkan pada jam 10 pagi karena guru-guru mengadakan rapat untuk persiapan EBTA. Aku yang selalu disiplin tidak pernah bermain sebelum pulang dan ganti pakaian. Begitu sekolah dibubarkan aku langsung pulang ke rumah yang jaraknya kira-kira 2 km dengan naik angkot.
Sampai di rumah aku heran karena pintu rumah tidak terkunci tetapi tidak ada orang. Padahal tadi pagi sebelum berangkat Mbak Ningsih bilang kalau sekolahnya libur selama 6 hari karena minggu tenang. Aku menduga pasti Mbak Ningsih sedang belajar di kamar menjelang EBTA yang akan diadakan minggu depan. Karena takut mengganggu Pakdhe yang mungkin sedang tidur aku berjalan pelan-pelan melintasi ruang tengah langsung ke kamarku dan Mbak Ningsih yang ada bagian belakang.
Aku kaget saat mendengar suara mencurigakan terdengar dari kamarku yang setengah terbuka. Kudengar suara Mbak Ningsih mengerang-ngerang disertai suara seperti berkecipak. Dengan langkah mengendap-endap kudekati pintu kamarku dan mengintip melalui pintu yang setengah terbuka. Astaga!! Aku benar-benar kaget!! Ternyata di kamarku ada Mbak Ningsih dan Pakdhe. Yang lebih mengejutkan, pakaian keduanya sudah berantakan.
Saat itu pakaian bagian atas Mbak Ningsih sudah terbuka sama sekali, begitu pula dengan Pakdhe Mitro. Keduanya sedang bergumul di atas tempat tidur yang biasa kugunakan tidur dengan Mbak Ningsih. Pakdhe hanya mengenakan sarung dan satu-satunya kain yang menutupi tubuh Mbak Ningsih hanyalah celana dalam saja.
Apa yang kulihat benar-benar membuat hatiku tercekat. Kulihat Pakdhe dengan rakus meneteki payudara Mbak Ningsih kanan dan kiri berganti-ganti, sementara tangan Mbak Ningsih meremas-remas rambut Pakdhe yang sudah mulai memutih. Kepala Mbak Ningsih bergoyang-goyang sambil terus mengerang. Begitu pula dengan Pakdhe yang dengan lahap terus menetek kedua payudara Mbak Ningsih secara bergantian.
Aku yang mengintip perbuatan mereka menjadi panas dingin dibuatnya. Tubuhku gemetar dan lututku lemas. Hampir saja kepalaku terbentur daun pintu saat aku berusaha melihat apa yang mereka perbuat lebih jelas. Tak lama kemudian kulihat Pakdhe menarik satu-satunya pembungkus yang melekat di tubuh Mbak Ningsih dan melemparkannya ke lantai. Kini tubuh Mbak Ningsih sudah telanjang bulat di bawah dekapan tubuh Pakdheku yang kelihatan masih berotot walau usianya sudah kepala lima.
Erangan Mbak Ningsih semakin keras saat kulihat wajah Pakdhe menyuruk ke selangkangan Mbak Ningsih yang terbuka. Tangan Mbak Ningsih yang memegang kepala Pakdhe kulihat semakin kuat menekan ke arah kemaluannya yang sedang diciumi Pakdhe. Aku yang baru kali ini melihat pemandangan seperti itu menjadi terangsang. Aku membayangkan seolah-olah tubuhku yang sedang digumuli Pakdhe.
Kedua kaki Mbak Ningsih melingkar di leher Pakdhe. Suara napas Pakdhe terdengar sangat keras seperti kerbau. Mbak Ningsih semakin keras mengerang dan tubuhnya kulihat melonjak-lonjak saat kulihat wajah Pakdhe menggesek-gesek bagian selangkangan Mbak Ningsih. Beberapa saat kemudian tubuh Mbak Ningsih mulai melemas dan terdiam.
Kemudian kulihat Pakdhe melepas sarungnya. Dan astaga! Kulihat batang kemaluan Pakdhe yang sangat besar dan berwarna coklat kehitaman mengacung tegak menantang langit. Pakdhe langsung mengangkangi wajah Mbak Ningsih dan mengosek-ngosekan batang kemaluannya yang dipeganginya ke wajah Mbak Ningsih.
Mbak Ningsih yang masih lemas kulihat mulai memegang batang kemaluan Pakdhe dan menjulurkan lidahnya menjilati batang kemaluan itu. Pakdhe pun kembali menyurukkan wajahnya ke arah selangkangan Mbak Ningsih. Kini posisi mereka sungguh lucu. Mereka saling menjilati selangkangan lawan dengan posisi terbalik.
Pakdhe yang mengangkangi wajah Mbak Ningsih menjilati selangkangan Mbak Ningsih yang telentang dengan lutut tertekuk dan paha terbuka. Tubuhku mulai meriang. Vaginaku terasa gatal seolah-olah membayangkan kalau vaginaku sedang diciumi Pakdhe. Tanpa sadar tanganku bergerak ke arah vaginaku sendiri dan mulai menggaruk-garuk.
Kejadian yang kulihat berikutnya membuat hatiku semakin mencelos. Setelah puas saling menciumi selangkangan masing-masing lawan, tubuh Pakdhe berbalik lagi sejajar dengan Mbak Ningsih. Mereka saling berhadap-hadapan dengan tubuh Pakdhe menindih Mbak Ningsih.
Kemudian kulihat Pakdhe menempatkan diri di antara kedua paha Mbak Ningsih yang mengangkang. Lalu dengan memegang batang kemaluannya Pakdhe menggosok-gosokkan ujung batang kemaluannya ke selangkangan Mbak Ningsih. Kulihat kepala Mbak mendongak-dongak ke atas dengan kedua tangan meremas-remas payudaranya sendiri saat Pakdhe mendorong pantatnya dan menekan ke arah selangkangan Mbak Ningsih. Mereka terdiam beberapa saat ketika tubuh mereka pada bagian kemaluan saling lengket satu sama lain.
Mbak Ningsih mulai merintih dan mengerang saat Pakdhe mulai memompa pantatnya maju-mundur dengan mantap. Kulihat pantat Mbak Ningsih bergerak mengayun menyambut setiap dorongan pantat Pakdhe. Dan setiap kali tulang kemaluan Mbak Ningsih dan Pakdhe beradu selalu terdengar seperti suara tepukan. Suara deritan dipan tidurku pun semakin nyaring terdengar mengiringi irama gerakan mereka.
Tubuh Mbak Ningsih menggelepar-gelepar semakin liar. Kepalanya pun semakin liar bergerak ke kanan dan kekiri, mulutnya tak henti-hentinya mengerang. Akhirya kudengar Mbak Ningsih merintih panjang disertai tubuhnya yang tersentak-sentak, pantatnya terangkat menyambut dorongan pantat Pakdhe. Lalu beberapa detik kemudian tubuh Mbak Ningsih mulai melemas, tangannya terlempar melebar ke samping kanan-kiri tubuhnya dan matanya terpejam.
Pakdhe lalu menarik pantatnya dan kulihat dari arah ku yang persis di samping kirinya, batang kemaluan Pakdhe yang hitam kecoklatan masih kencang. Kemudian Pakdhe menarik tubuh Mbak Ningsih agar merangkak di kasur. Dengan bertumpu pada lututnya, Pakdhe menempatkan diri di belakang pantat Mbak Ningsih yang menungging. Pakdhe memegang batang kemaluannya dan mengarahkannya ke belahan pantat Mbak Ningsih.
Kulihat kepala Mbak Ningsih terangkat saat Pakdhe mulai mendorong pantatnya. Kembali kulihat pantat Pakdhe mengayun dari depan ke belakang dengan posisi Mbak Ningsih merangkak dan Pakdhe berlutut di belakang pantat Mbak Ningsih. Batang kemaluan Pakdhe kelihatan dari tempatku berdiri saat Pakdhe menarik pantatnya dan hilang dari penglihatanku saat ia mendorong pantatnya. Aku yang mengintip menjadi tidak tahan lagi. Tanganku secara refleks mulai menyusup kedalam celana dalam memegang vaginaku dan meremas-remasnya. Vaginaku mulai basah oleh cairan. Jari tangahku kutekankan pada daerah sensitifku dan kugerakkan memutar.
Kudengar Pakdhe mulai menggeram. Tangannya meremas payudara Mbak Ningsih yang berayun-ayun seirama dengan dorongan pantat Pakdhe yang menyodok-nyodok Mbak Ningsih. Gerakan Pakdhe semakin cepat dan geramannya semakin keras. Mbak Ningsih pun mengimbangi gerakan ayunan pantat Pakdhe dengan memutar-mutar pantatnya. Gerakan mereka semakin liar. Derit dipan kayu pun kudengar semakin keras. Lalu keduanya merintih panjang.
Tubuh keduanya yang menyatu mengejat-ngejat. Kepala keduanya seolah-olah terhantam sesuatu hingga mendongak ke atas. Lalu tubuh Pakdhe ambruk dan menindih Mbak Ningsih yang ambruk tengkurap di kasur. Aku pun merasa ada sesuatu yang meledakdi bawah perutku. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya aku merasa lemas.
Aku yang takut ketahuan melihat perbuatan keduanya segera berjingkat-jingkat dan keluar rumah pergi ke rumah Rina sahabat paling eratku di kelas. Aku baru pulang setelah jam 13.30 saat aku biasa pulang.
Sampai di rumah aku pura-pura bersikap seperti biasa. Aku bersikap seolah-olah tidak mengetahui perbuatan Mbak Ningsih dan Pakdhe tadi pagi. Selama beberapa hari itu pikiranku selalu terganggu dengan bayangan apa yang dilakukan Mbak Ningsih dengan Pakdheku di kamarku ini.
Aku sudah mulai dapat melupakan kejadian yang kulihat antara Mbak Ningsih dengan Pakdheku karena kesibukanku mempersiapkan EBTA. Begitu EBTA selesai aku mendapatkan liburan sambil menunggu pengumuman. Saat itu waktuku lebih banyak kuluangkan di rumah membersihkan rumah dan menyetrika serta membantu Mbak Ningsih memasak.
Suatu hari, aku harus berada sendirian di rumah dengan Pakdhe. Mbak Ningsih mengikuti acara darma wisata ke Selecta yang diadakan sekolahnya sebagai acara perpisahan. Mbak Ningsih sudah berangkat saat pagi-pagi buta. Aku yang sedang libur harus menggantikan Mbak Ningsih menyiapkan sarapan buat Pakdhe. Setelah membuat minuman teh untukku dan satu cangkir khusus untuk Pakdhe aku segera menyapu halaman.
Aku menyempatkan diri meminum tehku sebelum pergi ke kamar mandi. Teh yang kuminum rasanya agak lain, tapi aku tidak begitu curiga. Saat mandi itulah aku merasa ada yang agak aneh dengan tubuhku. Tubuhku terasa panas dan jantungku berdebar-debar. Rasa aneh menyergapku. Vaginaku terasa berdenyut-denyut dan ada rasa aneh menyerbu diriku. Tubuhku terasa gerah sekali.
Kusiram seluruh tubuhku dengan air dingin agar rasa gerahku hilang. Apa yang kulakukan ternyata cukup menolong. Tubuhku merasa segar sekali. Lalu kigosok seluruh tubuhku dengan sabun. Rasa aneh itu kembali menyerang diriku, apalagi saat aku menyabuni daerah selangkanganku yang baru mulai ditumbuhi rambut satu-satu. Aku merasa ada dorongan birahi yang begitu kencang. Aku tidak tahu mengapa ini terjadi. Tiba-tiba anganku melayang pada apa yang kulihat beberapa hari yang lalu saat Mbak Ningsih dan Pakdhe Marto bergumul di kamarku.
Cepat-cepat kubuang pikiran itu jauh-jauh dan segera menyelesaikan acara mandi pagiku. Hanya dengan tubuh terbalut handuk, aku lari masuk kamarku. Aku selalu berganti pakaian di kamarku sambil mematut-matut diriku di depan cermin sambil mengamati seluruh tubuhku yang mulai berubah. Bulu-bulu kemaluan sudah mulai tumbuh di gundukan bukit kemaluanku.
Dadaku yang dulu rata kini mulai tumbuh dengan puting yang sebesar kacang kedelai dengan warna merah muda. Pinggulku mulai tumbuh membesar. Kata orang aku seksi dan menarik. Apalagi tinggi badanku sudah mencapai 160 cm. Aku sendiri selalu betah berlama-lama di depan cermin dengan melenggak-lenggokkan tubuhku memandang dari segala sisi dan mengagumi tubuhku. Aku sangat bangga dengan tubuhku.
Baru saja aku mengunci pintu kamarku aku dikejutkan dengan pelukan tangan yang kokoh menyergapku. Aku tidak sempat menjerit karena tiba-tiba sosok yang memelukku langsung membekap mulutku dengan tangannya yang kokoh. Belum hilang terkejutku, handuk yang melilit tubuhku ditarik seseorang dan jatuh teronggok ke lantai. Aku benar-benar bugil tanpa sehelai kainpun menutupi tubuhku.
Kembali rasa aneh yang menyerangku semakin menggelora. Ada dorongan hasrat yang menggebu-gebu dalam diriku. Aku tak mampu meronta dan menjerit! Tangan yang kokoh dan berbulu tetap membekap mulutku sementara tangan satu lagi memeluk tubuh telanjangku. Mataku semakin nanar menerima perlakuan seperti itu. Apalagi kurasakan sentuhan kulit tubuh telanjang menempel hangat di punggungku. Pantatku yang telanjang terasa menekan suatu benda panjang melingkar dan keras di balik kain tipis.
Aku semakin tak mampu menahan gejolak liar yang mulai bangkit dalam diriku saat sapuan-sapuan lidah panas mulai menyerbu tengkukku. Aku menggelinjang kegelian dan melenguh. Lidah itu semakin liar bergerak menyusuri leherku.. pundakku.. Lalu turun ke bawah ke sepanjang tulang punggungku. Aku semakin menggelinjang. Lidah itu terus merayap ke bawah dan pinggangku mulai dijilati. Kakiku serasa lemah tak bertenaga. Aku hanya pasrah saat tubuhku didorong ke tempat tidurku dan dijatuhkan hingga aku tengkurap di tempat tidurku. Tubuhku lalu ditindih oleh sesosok tubuh yang sangat berat.
Kakiku mulai memberontak liar karena geli. Apalagi lidah itu dengan rakus mulai menjilati pinggulku. Pantatku terangkat saat mulut berkumis itu mulai menggigiti buah pantatku dengan gemas. Pantatku terangkat-angkat liar saat lidah panas itu mulai menyusup ke dalam celah-celah bongkahan pantatku dan mulai menjilati lubang anusku. Aku benar-benar seperti terbang mengawang. Aku belum tahu siapa yang memelukku dari belakang dan menggerayangi seluruh tubuhku. Aku hanya bisa merasakan dengusan napas panas yang menghembus di bongkahan pantatku saat lidah itu mulai menjilati lubang anusku.
Aku tercekik kaget saat tubuhku dibalik hingga telentang telanjang bulat di kasurku. Ternyata orang yang sedari tadi menggumuliku adalah Pakdhe Mitro, orang yang selama ini kuanggap sebagai pengganti orang tuaku. Aku tak tak mampu berteriak karena mulutku langsung dibekap dengan bibirnya. Lidahku didorong dorong dan digelitik. Aku terangsang hebat. Apalagi sejak minum teh tadi tubuhku terasa agak aneh. Seolah-olah ada dorongan menghentak-hentak yang menuntut pemenuhan.
Tubuhku menggelinjang saat tangan kekar dan agak kasar mulai meraba dan meremas kedua payudaraku yang baru mulai tumbuh. Lalu kedua kakiku dipentangkan oleh Pakdhe Mitro lebar-lebar, lalu Pakdhe menindih tubuhku yang sudah telanjang bulat di antara kedua pahaku yang terkangkang. Aku merasa ada benda keras seperti tongkat yang menekan ketat ke bukit kemaluanku di balik kain sarung yang dikenakan Pakdhe.
Mulut dan lidah Pakdhe tak henti-hentinya menjilat dan melumat setiap jengkal bagian tubuhku. Dari mulutku, bibir Pakdhe bergeser menjilati seluruh batang leherku, kemudian turun ke dua belah payudaraku. Tubuhku semakin menggerinjal saat lidah dan mulut Pakdhe dengan rakusnya melumat kedua puting payudaraku yang baru sebesar kacang kedelai. Disedotnya payudaraku hingga hampir seluruhnya masuk ke dalam mulut Pakdhe Mitro. Aku sangat terangsang dan sudah tidak mampu berpikir jernih. Ada sesuatu yang mulai menggelora dan mendesak-desak di perut bagian bawahku.
Lidah Pakdhe terus merayap semakin ke bawah. Perutku menjadi sasaran jilatan lidahnya. Tubuhku semakin menggelinjang hebat. Akal sehatku sudah benar-benar hilang. Kobaran napsu sudah menjeratku. Pantatku terangkat tanpa dapat kucegah saat lidah Pakdhe terus merayap dan menjliati gundukan bukit kemaluan di selangkanganku yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus. Aku merasa kegelian yang amat sangat menggelitik selangkanganku.
Tubuhku serasa mengawang di antara tempat kosong saat lidah Pakdhe mulai menyelusup ke dalam bukit kemaluanku dan menggelitik kelentitku. Lubang kemaluanku semakin berdenyut-denyut tergesek gesek lidahnya yang panas. Aku hanya mampu menggigit bibirku sendiri menahan rasa geli yang menggelitik selangkanganku. Tubuhku semakin melayang dan seperti terkena aliran listrik yang maha dahsyat.
Aku tak mampu lagi menahan gelora napsu yang semakin mendesak di dalam perutku. Pantatku terangkat seperti menyongsong wajah Pakdhe yang menekan bukit kemaluanku. Lalu tubuhku seperti terhempas ke tempat kosong. Aku merasakan ada sesuatu yang meledak di dalam perut bagian bawahku. Tubuhku menggelepar dan tanpa sadar kujepit kepala Pakdhe dengan kedua kakiku untuk menekannya lebih ketat menempel selangkanganku.
Belum sempat aku mengatur napas tiba-tiba mulutku sudah disodori batang kemaluan Pakdhe Mitro yang tanpa kutahu sejak kapan sudah melepas sarungnya dan sudah telanjang bulat mengangkangi wajahku. Batang kemaluannya yang besar, hitam panjang dan tampak mengkilat mengacung di depan wajahku seperti hendak menggebukku kalau aku menolak menciuminya.
Dengan rasa jijik aku terpaksa menjulurkan lidahku dan mulai menjilati ujung topi bajanya yang mengkilat. Aku hampir muntah saat lidahku menyentuh cairan lendir yang sedikit keluar dari lubang kemaluan Pakdhe. Namun jepitan kedua paha Pakdhe di sisi wajahku tidak memberiku kesempatan lain.
Aku hanya mampu pasrah dengan tetap menjilati batang kemaluan Pakdhe. Lalu dengan paksa Pakdhe membuka mulutku dan menjejalkan batang kemaluannya ke dalam mulutku. Aku menjadi gelagapan karena susah bernapas. Batang kemaluannya yang besar memenuhi mulutku yang masih kecil.
Kudengar Pakdhe menggumam tanpa jelas apa yang diucapkannya. Pantatnya digerak-gerakannya hingga batang kemaluannya yang masuk ke dalam mulutku mulai bergerak keluar masuk di dalam mulutku. Aku hampir tersedak saat ujung kemaluan Pakdhe menyentuh-nyentuh kerongkonganku. Aku hanya mampu melotot karena hampir tersedak. Tanpa sadar kedua tanganku mencengkeram pantat Pakdhe Mitro.
Setelah puas “mengerjai” mulutku dengan batang kemaluannya, Pakdhe menggeser tubuhnya dan menindihku lagi dengan posisi sejajar. Kedua pahaku dikuaknya dan dengan tangannya, dicucukannya batang kemaluannya ke arah bukit kemaluanku. Aku merasa geli saat ujung kemaluan Pakdhe mulai menggesek-gesek pintu lubang kemaluanku yang sudah basah.
Dari rasa geli dan nikmat, tiba-tiba aku merasa perih di selangkanganku saat Pakdhe mulai menurunkan pantatnya sehingga batang kemaluannya mulai menerobos ke dalam lubang kemaluanku yang masih perawan. Aku merintih kesakitan dan air mataku mulai mengalir. Aku tersadar akan bahaya! Namun terlambat. Pakdhe yang sudah sangat bernafsu sudah tidak mungkin mau berhenti. Ia hanya sejenak menghentikan gerakannya. Ia merayuku dan mengatakan kalau sakitku hanya sebentar dan berganti rasa nikmat yang tidak terkira.
Pakdhe menarik pantatnya ke atas hingga batang kemaluannya yang terjepit di dalam lubang kemaluanku tertarik keluar. Gesekan batang kemaluannya yang besar di dalam dinding lubang kemaluanku menimbulkan rasa nikmat seperti apa yang dikatakannya. Aku mulai dapat menikmati rasa nikmat itu. Ini mungkin karena pengaruh teh yang kuminum sehingga aku benar-benar belum sadar akan bahaya yang kuhadapi. Yang kuinginkan hanya satu yaitu menuntaskan gejolak yang meledak-ledak dalam diriku.
Aku kembali merintih kesakitan saat Pakdhe mulai menekan pantatnya lagi yang membuat batang kemaluannya menerobos lebih dalam ke dalam lubang kemaluanku. Lagi-lagi Pakdhe membisikiku kalau rasa sakit itu akan hilang dengan sendirinya. Ia menarik lagi pantatnya. Benar.. Rasa sakit itu berganti nikmat saat batang kemaluannya ditarik keluar hingga hanya ujung kepalanya saja yang masih terjepit dalam lubang kemaluanku.
Lanjut Part 2..