Eliza 1 : UKS
Namaku Eliza. Cerita ini terjadi saat usiaku masih 17 tahun. Waktu itu, aku masih duduk di kelas 2 SMA swasta yang amat terkenal di Surabaya.
Sekilas tentang diriku, aku seorang gadis Chinese yang mungil dengan tinggi badan 157 cm dan berat badan 42 kg. Rambutku hitam panjang sepunggung. Kata orang orang, wajahku cantik dan bentuk tubuhku sangat ideal.
Namun entah apa aku harus bersyukur atau menyesali karunia yang kuterima ini. Mungkin karena daya tarikku ini, aku malah mengalami malapetaka di hari Sabtu ini
Seminggu setelah perayaan ultahku yang ke sweet seventeen, aku mendapatkan SIM karena sudah cukup umur. Sejak itu aku ke sekolah dengan mengendarai mobil sendiri, mobil hadiah ultahku. Aku sekolah siang, jadi pulangnya sampai jam setengah tujuh malam.
Hari itu sepulang sekolah, tiba tiba aku merasa perutku sakit dan mulas, jadi aku memutuskan buang air di WC sekolah. Karena aku bawa mobil sendiri, jadi dengan santai aku buang air di WC sekolah, tanpa harus kuatir merasa sungkan dengan adanya seorang sopir yang menungguku.
Yang mengherankan dan sekaligus menjengkelkan, entah kenapa aku harus terus bolak balik ke WC sampai lima kali. Mungkin setelah tak ada lagi yang bisa dikeluarkan, baru akhirnya aku berhenti buang air. Namun perutku masih saja terasa mulas.
Maka aku memutuskan untuk mampir ke ruang UKS sebentar dan mencari minyak putih. Di dalam sana, aku menyalakan lampu dan menaruh tas sekolahku di meja yang ada di sana, lalu aku mencari cari minyak putih di kotak obat.
Setelah ketemu, aku membuka kancing baju seragamku di bagian perut ke bawah, dan mulai mengoleskan minyak putih itu untuk meredakan rasa sakit perutku.
Tapi aku amat terkejut ketika tiba tiba pintu ruang UKS ini terbuka, dan ternyata yang membuka adalah tukang sapu di sekolahku yang bernama Hadi.
Aku yang sedang mengolesi perutku dengan minyak putih, terkesiap melihat Hadi yang menatapku sambil menyeringai. Aku langsung menyadari tiga kancing baju seragamku dari bawah ini terbuka, memperlihatkan perutku yang rata dan putih mulus ini padanya.
Belum sempat aku berpikir tentang apa yang harus aku lakukan, Hadi sudah mendekatiku, menyergapku, menelikung tangan kananku ke belakang punggungku dengan tangan kanannya, dan ia segera membekap mulutku erat erat dengan tangan kirinya.
“Eeemph… eeemph…”, aku meronta ronta sambil berusaha menjerit, dan dengan panik aku berusaha melepaskan bekapan pada mulutku ini dengan tangan kiriku yang masih bebas.
Namun apa arti tenaga seorang gadis yang mungil sepertiku menghadapi seorang lelaki yang tinggi besar seperti Hadi ini?
Aku mulai merasa ketakutan. Aku tak tahu pasti apa maunya Hadi ini, tapi aku tahu ia pasti bermaksud buruk padaku. Dan selagi aku berjuang melepaskan diriku dari pak Hadi, mataku terbelalak ketika aku melihat masuknya seorang tukang sapu yang lain, yang bernama Yoyok.
“Girnooo”, Yoyok melongok keluar pintu dan berteriak memanggil satpam di sekolahku.
Aku sempat merasa lega, kukira Yoyok akan menyelamatkanku cengkeraman Hadi. Tapi ternyata Yoyok yang mendekati kami bukannya menolongku, malah memegang pergelangan tangan kiriku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mulai meremasi payudaraku.
Aku kembali berusaha meronta untuk melepaskan diriku dari situasi yang menyeramkan ini.
“Wah baru kali ini ada kesempatan pegang pegang susu amoy… ini non Eliza yang sering kamu bilang itu kan Had?”, tanya Yoyok pada Hadi.
“Iya Yok, amoy tercantik di sekolah ini. Betul gak?” kata Hadi.
Sambil tertawa Yoyok makin keras meremasi kedua payudaraku. Aku menggeliat kesakitan dan terus meronta mencoba melepaskan diri, sambil berharap semoga Girno yang sering mendapat uang tips dariku untuk kesediaannya mengantrikan aku bakso kesukaanku tiap istirahat sekolah, tidak setega mereka berdua yang sudah seperti kerasukan iblis ini.
Tapi aku langsung sadar kalau aku dalam bahaya besar. Yang memanggil Girno tadi itu kan Yoyok. Jadi sungguh bodoh bila aku berharap banyak pada Girno yang kalau tidak salah memang pernah aku temukan sedang mencuri pandang padaku. Ataukah… ?
Beberapa saat kemudian Girno datang, dan melihatku diperlakukan seperti itu, Girno malah menyeringai dan aku merasa mimpi burukku akan segera menjadi kenyatan.
“Dengar, kalian jangan gegabah… non Eliza ini kita ikat dulu di ranjang UKS ini. Setelah jam 8 malam, gedung sekolah ini pasti sudah kosong. Itulah saatnya kita berpesta kawan kawan!”, kata Girno.
Maka lemaslah tubuhku setelah aku tahu Girno ada di pihak mereka. Dengan mudah mereka membaringkan tubuhku di atas ranjang UKS. Kedua tangan dan kakiku sudah direntangkan, dan diikat erat pada keempat sudut ranjang ini hingga tubuhku membentuk huruf X.
Berikutnya, dua kancing bajuku yang belum lepas, dilepaskan oleh Hadi, hingga terlihat kulit tubuhku yang putih mulus, serta bra warna pink yang menutupi payudaraku.
“Pak… tolong jangan begini pak…”, aku memohon dan rasa putus asa mulai menghinggapiku.
Ratapanku ini dijawab Girno dengan mencium bibirku. Ia melumat bibirku dengan penuh nafsu, sampai aku megap megap kehabisan nafas, lalu ia menyumpal mulutku sehingga aku tak akan bisa berteriak minta tolong.
“Non Eliza, tenang saja. Nanti juga non bakalan merasakan surga dunia kok”, kata Girno sambil tersenyum memuakkan.
Kemudian Girno memerintahkan mereka semua untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, dan mereka meninggalkanku sendirian di ruang UKS sialan ini. Girno kembali ke posnya, Hadi dan Yoyok berkata mau meneruskan pekerjaannya menyapu beberapa ruangan kelas yang belum disapu.
Aku mulai menyesali keputusanku masuk ke dalam ruangan ini, keputusan yang mungkin harus kubayar mahal.
Aku bergidik membayangkan apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Dari berbagai macam cerita kejahatan seks yang aku dengar, aku mengerti mereka bertiga pasti akan memperkosaku, entah dengan cara bergilir ataupun langsung memperkosaku ramai ramai.
Sakit perutku mungkin sudah hilang berkat khasiat minyak putih tadi, tapi aku dilanda ketegangan yang luar biasa. Ikatan pada kedua pergelangan tangan dan kakiku ini membuat aku hanya bisa pasrah menunggu nasib.
-x-
II. Pembantaian Dimulai
Detik demi detik berlalu begitu cepat, tak terasa setengah jam sudah berlalu. Jam di ruang UKS sudah menunjukkan pukul delapan malam. tibalah saatnya aku dibantai oleh mereka.
Hadi masuk, diikuti Yoyok, Girno, dan celakanya ternyata mereka mengajak dua orang satpam yang lain, Urip dan Soleh. Aku menggigil ketakutan, entah seperti apa keadaanku nanti setelah diperkosa oleh lima orang ini.
“Hai amoy cantik… sudah nggak sabar menunggu kami ya?”, kata Hadi.
Dengan mulut yang tersumpal sementara tangan dan kakiku terikat, aku hanya bisa menggeleng nggelengkan kepala, dengan air mata yang mengalir deras pada kedua pipiku, aku memandang mereka memohon belas kasihan, walaupun aku sadar hal ini tak akan ada gunanya.
Mereka hanya tertawa dan dengan santai mereka membuka ikatan ikatan pada kedua pergelangan tangan dan kakiku, lalu tanpa mendapatkan perlawanan sedikitpun dariku, mereka melepaskan baju dan rok seragam sekolahku, juga kedua sepatu dan kaus kakiku. Kini aku tinggal mengenakan bra dan celana dalam yang keduanya berwarna sedikit pink.
Melihat diriku yang sudah pasrah tak berdaya, mereka bersorak gembira, mengerubutiku dan mulai menggerayangi tubuhku.
Aku masih sempat memperhatikan, betapa kulit mereka itu hitam legam dan kasar dibandingkan kulitku yang putih mulus dah halus, membuatku merasa ngeri juga ketika memikirkan tubuhku akan segera dijarah habis oleh mereka.
Aku kembali meronta, tidak rela menerima nasib yang buruk ini. Tapi tiba tiba perasaanku tersengat ketika jari-jari Girno menyentuh selangkanganku, menekan nekan vaginaku yang masih terlindung celana dalamku.
Aku tak tau sejak kapan, tapi bra yang aku pakai sudah lenyap entah kemana, dan payudaraku diremas remas dengan brutal oleh Hadi dan Yoyok, membuat tubuhku rasanya panas dingin. Belum lagi mereka akhirnya mengikatku lagi dalam posisi seperti tadi, mungkin karena aku terlalu banyak meronta.
Selagi aku masih kebingungan karena baru pertama kalinya ini aku merasakan sensasi sentuhan lelaki yang melanda tubuhku, Urip mendekatiku, melepas sumpalan pada mulutku, dan melumat bibirku habis habisan. Aku semakin gelagapan, apalagi kemudian Soleh meraba dan membelai kedua pahaku.
Dikerubuti dan dirangsang sedemikan rupa oleh lima orang sekaligus tanpa bisa berbuat apa apa karena kedua tangan dan kakiku terikat erat di empat sudut ranjang ini, aku merasakan gejolak luar biasa yang melanda tubuhku tanpa bisa kukendalikan.
Aku merasakan betapa tubuhku berkelojotan dan mengejang hebat. Berulang kali tubuhku terlonjak lonjak sampai beberapa saat lamanya. Kedua betisku melejang lejang, dan rasanya seluruh tubuhku bergetar.
“Oh… augh… ngggg… aaaagh…” aku mengerang dan menjerit keenakan.
Aku merasa seperti buang air kecil, tapi yang keluar hanya sedikit, dan baru kali ini aku merasakan kenikmatan yang amat sangat seperti ini.
Aku mengerti sekali bahwa tadi itu aku baru saja mengeluarkan cairan cintaku, karena aku mengalami orgasme. Aku memang pernah bermasturbasi walaupun hanya menggesek gesekkan jariku pada bibir liang vaginaku sampai akhirnya aku mengeluarkan cairan cintaku.
Tapi aku merasa kalau yang keluar itu tak sebanyak yang tadi, dan semua yang kurasakan tadi jauh lebih nikmat dibandingkan ketika aku mencapai orgasme saat bermasturbasi. Aku merasakan sensasi yang luar biasa dengan adanya sentuhan lelaki, yang baru pertama kali kurasakan.
Tadi itu cairan cintaku keluar banyak sekali, dan aku merasa kelelahan dan lemas sekali. Kini aku hanya diam pasrah terbaring di tengah kerumunan para lelaki bejat ini.
“Enak ya non? Hahaha… nanti non pasti minta tambah”, aku mendengar suara itu tanpa bisa melihat siapa yang bicara, tapi aku tahu itu suara Yoyok, dan aku malas menanggapi ucapan yang amat kurang ajar dan merendahkanku itu.
“Non Eliza, kami akan melepaskan ikatanmu. Jika non Eliza tidak macam macam, kami akan melepaskan non setelah kami puas. Tapi jika non Eliza macam macam, non akan kami seret ke mess kami. Dan non tahu kan apa akibatnya? Di situ non tidak hanya harus melayani kami berlima, tapi seluruh penghuni mess kami. Mengerti ya non?”, kata Girno kepadaku.
Mendengar hal itu, aku jadi merasa ngeri, dan aku hanya bisa mengangguk pasrah, berharap aku cukup kuat untuk melalui ini semua.
“Jangan bawa saya ke sana pak. Saya akan menuruti kemauan bapak bapak. Tapi tolong, jangan lukai saya dan jangan hamili saya. Dan lagi, saya masih perawan pak. Tolong jangan kasar… tolong jangan keluarkan di dalam ya? Saya nggak mau hamil pak…” aku memohon dengan sungguh sungguh dalam rasa ngeri membayangkan aku harus dibawa ke mess mereka, juga rasa ngeri akan kemungkinan hamil akibat diperkosa ramai ramai oleh mereka ini.
Mereka yang tinggal di mess itu adalah para satpam, tukang sapu dan tukang kebun yang bekerja di SMA tempat aku bersekolah sekarang ini, ditambah dengan yang bekerja di SMP dan SD yang masih sekomplek dengan SMAku, yang memang kebetulan masih satu yayasan.
Daripada aku akan lebih menderita diperkosa oleh puluhan orang, lebih baik aku menuruti apa mau mereka yang ‘cuma’ berlima ini.
Dan aku benar benar berharap agar tak ada yang melukaiku, berharap mereka tidak segila itu untuk menindik tubuhku, trend yang kudengar sering dilakukan oleh pemerkosa… menindik puting susu korbannya. Aku benar benar takut kalau aku harus mengalami semua itu.
“Hahaha, non Eliza, sudah kami duga non memang masih perawan. Nona masih polos, dan tidak mengerti kalo kami suka memandangi tubuh nona yang sexy. Kami selalu memimpikan memperawani non Eliza yang cantik ini sejak non masih kelas satu SMA. Minggu lalu, ketika non ulang tahun ke tujuh belas dan merayakannya di kelas, non bahkan berbaik hati memberi kami hadiah makanan. Maka kami sepakat untuk membalas kebaikan non dengan memberi non kenikmatan surga dunia.”, kata Girno.
“Tenang saja non. Kami memang menginginkan tubuh non, tapi kami tak sekejam itu untuk melukai tubuh non yang indah ini. Dan kalo tentang hamil, non Eliza tenang saja. Kami sudah mempersiapkan semua itu. Tadi siang, aqua botol yang non titip ke saya, saya campurin obat anti hamil sekaligus obat cuci perut. Sekarang non Eliza mengerti kan kenapa tadi non jadi sakit perut? Hahaha…” jelas Girno sambil tertawa, tertawa yang memuakkan.
Jadi memang ini semua sudah direncanakannya! Kurang ajar betul mereka ini. Aku memberi mereka makanan hanya karena ingin berbagi, tanpa memandang status mereka. Tapi kini balasannya aku harus melayani mereka berlima. Apa salahku terhadap mereka?
Hari ini aku akan diperkosa ramai ramai oleh mereka, dan mereka akan mengeluarkan sperma mereka di dalam rahimku sepuasnya tanpa kuatir menghamiliku. Lebih tepatnya, tanpa aku kuatir harus hamil oleh mereka.
Membayangkan semua itu, entah kenapa tiba tiba aku terangsang hebat, dan gairahku naik tak terkendali. Aku tanpa sadar menanti dan berharap mereka akan memberikanku kenikmatan lagi seperti yang tadi baru melandaku.
Mereka semua mulai melepas semua pakaian mereka, dan ternyata penis penis mereka sudah ereksi dengan gagahnya, membuat jantungku berdegup semakin kencang melihat ukuran penis penis itu yang begitu besar. Dan penis penis itu, akan bergantian mengisi dan menyiksa liang vaginaku.
Girno mengambil posisi di tengah selangkanganku, sementara yang lain melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tangan dan kakiku. Girno menarik lepas celana dalamku. Kini aku sudah telanjang bulat dan tubuhku yang putih mulus terpampang di depan mereka yang terlihat semakin bernafsu.
“Indah sekali non Eliza, memeknya non. Rambutnya jarang, halus, tapi indah sekali”, puji Girno.
Aku sama sekali tidak tersanjung oleh pujian cabul Girno ini. Entah apa indahnya bibir vaginaku baginya, yang pasti liang vaginaku akan segera disiksa olehnya. Semakin jelas aku melihat penis Girno, dengan diameter sekitar lima senti dan panjang yang sekitar enam belas senti.
“Pak, pelan pelan pak ya…” aku mencoba mengingatkan Girno.
Ia yang hanya menganguk sambil tersenyum memandangi diriku, membuatku merasa jengah dan memalingkan mukaku, tak ingin memandang orang yang akan merenggut keperawananku ini. Girno menggesek gesekkannya kepala penisnya yang sudah menempel pada bibir vaginaku, membuatku semakin terangsang.
Aku menyadari bahwa mereka sudah tidak lagi memegangi pergelangan tangan dan kakiku yang sudah tidak terikat. Mungkin karena mereka sudah yakin, aku yang telah mereka taklukkan ini tak akan melawan atau mencoba melarikan diri, dan memang aku tak berani melakukan hal itu.
-x-
III. Terenggutnya Keperawananku
Kini mereka sudah mengerubutiku kembali, seperti segerombolan serigala memperebutkan seekor kelinci putih yang manis. Kedua payudaraku kembali diremas remas oleh Hadi dan Yoyok, sementara Urip dan Soleh bergantian melumat bibirku.
Rangsangan demi rangsangan yang kuterima ini, membuat aku harus menyerah diantar mereka menuju orgasmeku untuk yang ke dua kalinya. Kembali tubuhku berkelojotan dan kakiku melejang lejang, bahkan kali ini aku meraskan cairan cintaku sepertinya menyembur keluar.
“Eh… non Eliza ini… belum apa apa sudah keluar dua kali, pake muncrat lagi. Sabar non, kenikmatan yang sesungguhnya akan segera non rasakan. Tapi ada bagusnya juga lho, memek non pasti jadi lebih licin, nanti pasti lebih gampang ditembus ya”, ejek Girno sambil mulai melesakkan penisnya ke liang vaginaku.
“Aduh… sakit pak” erangku.
“Tenang non, nanti juga enak”, kata Girno.
Kemudian ia menarik penisnya sedikit, dan melesakkannya sedikit lebih dalam dari yang tadi. Rasa pedih yang amat sangat melanda vaginaku, yang meskipun sudah begitu licin, tapi tetap saja karena penis itu terlalu besar, Girno kesulitan untuk menancapkan penisnya ke dalam liang vaginaku.
Namun dengan penuh kesabaran, Girno terus memompa masuk penisnya dengan lembut hingga tak terlalu menyakitiku.
Lambat laun, ternyata memang rasa sakit di vaginaku mulai bercampur rasa nikmat yang luar biasa. Dan Girno terus melakukannya, menarik sedikit, dan menusukkan lebih dalam lagi, sementara yang lain terus melanjutkan aktivitasnya sambil menikmati tontonan proses penetrasi penis Girno ke dalam liang vaginaku.
Hadi dan Yoyok mulai menyusu pada kedua puting payudaraku yang kurasakan sudah mengeras, mungkin karena tubuhku terus menerus dirangsang oleh mereka semua sejak tadi.
Tak lama kemudian, aku merasakan selangkanganku sakit sekali dan menghapus semua nikmat yang sempat kuterima tadi. Entahlah, mungkin akhirnya selaput daraku robek.
“Ooh… aauugggh… hngggkk… aaaaagh…”, aku menjerit kesakitan, seluruh tubuhku mengejang, dan air mataku kembali mengalir tanpa bisa kutahan. Keringatku juga mengucur deras.
Aku ingin meronta, tapi rasa sesak dan sakit di liang vaginaku membatalkan niatku. Aku hanya bisa mengerang, dan gairahku pun padam dihempas rasa sakit yang nyaris tak tertahankan ini.
“Aduh… sakit pak Girno… ampun”, aku mengerang dan memohon pada pak Girno.
Namun Girno hanya tertawa tawa, mungkin karena ia puas telah berhasil memperawaniku, dan yang lain malah bersorak menyemangati kebiadaban Girno ini.
Aku menggeleng gelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri menahan sakit, sementara bagian bawah tubuhku mengejang hebat, tapi aku tak berani terlalu banyak bergerak, dan berusaha menahan lejangan tubuhku supaya liang vaginaku yang penuh sesak itu tak semakin didera oleh rasa sakit.
Sempat terlintas dalam pikiranku, kini aku sudah bukan seorang gadis suci lagi.
Lumatan penuh nafsu pada bibirku oleh Urip menahan gerakan kepalaku, dan ditambah belaian pada rambutku serta dua orang lelaki yang menyusu seperti anak kecil pada kedua payudaraku ini membuatku melupakan itu semua, dan gairahku yang sempat dipadamkan oleh rasa sakit tadi kembali menyala.
Tanpa sadar, dalam kepasrahan aku mulai membalas lumatan pada bibirku. Girno terus memperdalam tusukannya penisnya yang sudah menancap setengahnya pada liang vaginaku.
Dan Girno memang pandai memainkan vaginaku, kini rasa sakit itu sudah tak begitu kurasakan lagi, yang lebih kurasakan adalah rasa ngilu yang amat nikmat yang melanda selangkanganku.
Walaupun baru menancap setengahnya, batang penis Girno itu membuat liang vaginaku terasa begitu sesaknya, dan urat urat pada batang penis itu berdenyut denyut, menambah sensasi yang kurasakan.
“Oh sempitnya non. Enaknya… ah…”, Girno mulai meracau sambil terus memompa penisnya sampai akhirnya amblas sepenuhnya.
Penis itu terasa seperti sedang menyodok bagian terdalam dari vaginaku, mungkin itu rahimku. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat.
Mulutku ternganga, kedua tanganku mencengkeram sprei berusaha mencari sesuatu yang bisa kupegang, sementara kakiku terasa mengejang tapi kutahan. Aku benar benar tak berani banyak bergerak dengan penis raksasa yang sedang menancap begitu dalam di vaginaku.
Dan setelah diam beberapa saat untuk memberiku kesempatan beradaptasi, akhirnya Girno mulai memompa tubuhku. Aku mengerang dan mengerang, mengikuti irama genjotan si Girno. Dan erangangku kembali tertahan ketika kali ini dengan gemas Urip memasukkan penisnya ke dalam mulutku yang sedang ternganga ini.
“Isep non. Awas, jangan digigit ya!”, Urip berkata seperti memerintah budaknya saja.
Walaupun aku gelagapan karena baru pertama kali mulutku dimasukin penis seorang lelaki, tapi aku hanya pasrah, dan mulai mengulum penis yang baunya tidak enak ini. Dan lama kelamaan aku jadi terbiasa juga dengan bau itu. Penis itu panjang juga, tapi diameternya tak terlalu besar dibanding dengan penisnya Girno.
Tapi mulutku terasa penuh, dan ketika aku mengulum ngulum penis itu, Urip memompa penisnya dalam mulutku, sampai berulang kali melesak ke dalam tenggorokanku. Aku berusaha supaya tidak muntah, meskupun berulang kali aku tersedak.
Selagi aku berjuang beradaptasi terhadap sodokan penis si Urip ini, Soleh meraih tangan kananku, menggengamkan tanganku ke penisnya.
“Non, ayo dikocok!”, perintahnya.
Penis itu tak hampir tak muat di genggaman telapak tanganku yang mungil, dan aku tak sempat memperhatikan seberapa panjang penis itu, walaupun dari kocokan tanganku, aku sadar penis itu panjang.
-x-
IV. Kedatangan Pak Edy Wali Kelasku
Aku menuruti semuanya dengan pasrah, ketika tiba tiba pintu terbuka, dan pak Edy, guru wali kelasku masuk, dan semua yang mengerubutiku menghentikan aktivitasnya, tentu saja penis Girno masih tetap bersarang dalam liang vaginaku.
Melihat semuanya ini, pak Edy membentak, “Apa apaan ini? Apa yang kalian lakukan pada Eliza?”.
“Pak Edy, tolong saya pak. Lepaskan saya dari mereka”, aku merasa ada harapan, segera melepaskan kulumanku pada penis Urip, dan berkata dengan sedikit berteriak
“Kalian ini… ada pesta kok tidak ngajak saya? Untung saya kembali mau mencari bon pembelian kotak P3K tadi. Kalo begini sih, itu bon tidak ketemu juga tidak apa apa… hahaha…”, pak Edy seolah tak mendengar kata kataku.
Aku yang sempat kembali merasa ada harapan untuk keluar dari acara pesta seks terhadap diriku ini langsung lemas dalam keputus asaan.
Dengan kesal aku mulai melanjutkan kocokan tanganku pada penis Soleh dan juga kulumanku pada penis Urip. Memang aku harus mengakui, aku menikmati perlakuan mereka, tapi kalau bisa aku juga ingin semua ini berakhir.
Setelah sadar bahwa pak Edy malah akan bergabung dengan mereka, para maniak ini tertawa lega.
“Pak Edy tenang saja, masih kebagian kok. Itu tangan kiri non Eliza masih nganggur, kan bisa buat ngocok punya pak Edy dulu. Tapi kalo soal memeknya, ngantri yo pak. Abisnya, salome sih”, kata Girno yang mulai memompa liang vaginaku dengan penisnya.
“Yah gak masalah lah. Ini kan malam minggu, pulang malam juga wajar kan?” kata pak Girno yang tertawa mengiyakan sambil melepas pakaiannya.
Ternyata penis wali kelasku ini tidak terlalu besar, bahkan ternyata paling pendek di antara mereka.Tapi aku sudah tak perduli lagi. Vaginaku yang serasa diaduk aduk mengantarku orgasme yang ke tiga kalinya.
“Aaaaagh…”, erangku yang tanpa sadar mulai menggenggam penis pak Edy yang disodorkan di dekat tangan kiriku yang memang menganggur.
Pinggangku terangkat sedikit ke atas, kembali tubuhku terlonjak lonjak, entah ada berapa lamanya tersentak sentak, namun liang vaginaku yang masih sangat sempit ini tersa penuh sesak terisi batang penis Girno yang berukuran raksasa ini, hingga aku tak berani menggeliat sesuka hatiku.
Dalam kelelahan ini, aku harus melayani enam orang sekaligus. Sodokan sodokan yang dilakukan Girno membuat gairahku tak menurun, dan hal itu amat menyiksaku. Sudah beberapa menit Girno terus menggagahiku, hingga berkali kali aku harus menggelepar didera orgasme dan orgasme.
Desahan kami bersahut sahutan memenuhi ruangan yang kecil ini. Kedua tanganku mengocok penis dari Soleh dan pak Edy, wali kelasku yang ternyata bejat ini, dan tiba tiba aku agak bingung juga memikirkan apa yang harus kulakukan jika bertemu dengannya mulai Senin besok dan seterusnya saat dia mengajar di kelasku.
-x-
V. Pembantaian Berlanjut
Urip mengingatkanku untuk kembali mengulum penisnya yang kembali disodokkannya ke tenggorokanku, membuat aku tak sempat terlalu lama memikirkan hal itu. Kini aku sudah mulai terbiasa, bahkan sejujurnya aku mulai menikmati saat saat tenggorokanku diterjang penis si Urip ini, menikmati rasa tercekik yang enak ini.
Tiba tiba Girno menarikku hingga aku terduduk, lalu dia tiduran di ranjang, hingga sekarang aku berada dalam posisi woman on top, dan penis itu terasa semakin dalam menancap dalam vaginaku. Aku masih tak tahu apa yang ia inginkan, tiba tiba aku ditariknya lagi hingga rebah dan kedua payudaraku menindih tubuhnya. Urat penisnya terasa mengorek ngorek dinding vaginaku.
Aku hanya pasrah menunggu, entah permainan apa lagi yang harus kujalani bersama Girno dan yang lainnya ini.
“Eh, daripada satu lubang rame rame, kan lebih nikmat kalo dua, eh, tiga sekalian, tiga lubang rame rame?” tanya Girno pada yang lain.
“Akuuur…”, seru mereka segera menyetujui sambil tertawa tawa.
Berikutnya Urip segera ke belakangku, dan kurasakan ia sedang meludahi anusku. Kengerian kembali melandaku, membayangkan aku akan dijadikan sandwich oleh Girno dan Urip.
“Jangan…. jangan di situ…” desisku ketakutan.
Namun seperti yang aku duga, Urip sama sekali tidak perduli. Aku memejamkan mata ketika Urip menempelkan kepala penisnya ke anusku, dan yang lain bersorak kegirangan dan beberapa dari mereka memuji ide Girno.
“Aaaaaagh…” aku mengerang ketika penis Urip mulai melesak ke dalam liang anusku.
Mataku terbeliak, kedua telapak tanganku tanganku kugenggamkan erat erat pada sprei kasur tempat aku diperkosa ramai ramai ini. Tubuhku terutama pahaku bergetar hebat, selagi aku berjuang menahan sakit yang luar biasa. Ludah Urip yang bercampur dengan air ludahku di penis Urip yang baru kukulum tadi harusnya sudah membuat penis itu cukup licin, tapi ternyata itu tak membantu sama sekali.
“Aaaaaagh… sakiiiiiit… Jangaaaaan…”, erangku tanpa daya ketika akhirnya penis itu amblas seluruhnya dalam liang anusku.
Selagi aku mengerang dan mulutku ternganga, Soleh mengambil kesempatan itu untuk membenamkan penisnya dalam mulutku, hingga eranganku teredam. Sial, ternyata penis Soleh ini agak mirip punya Urip yang sedang menyodomiku. Begitu panjang, walaupun diameternya tidak terlalu besar, tapi penis itu cukup panjang untuk menyodok nyodok tenggorokanku.
Kini tubuhku benar benar bukan milikku lagi, dijarah habis oleh mereka semua. Rasa sakit yang hampir tak tertahankan melandaku saat Urip mulai memompa liang anusku. Setiap ia mendorongkan penisnya, penis Soleh menancap semakin dalam ke tenggorokanku, sementara penis Girno sedikit tertarik keluar dari liang vaginaku.
Tapi sebaliknya, saat Urip memundurkan penisnya, penis Soleh juga sedikit tertarik keluar dari kerongkonganku. Akibatnya tubuhku yang turun membuat penis Girno kembali menancap dalam dalam pada liang vaginaku, ditambah lagi Girno sedikit menambah tenaga tusukannnya, hingga rasanya penisnya seperti menggedor rahimku.
Rasanya tubuhku seperti sedang dirobek robek ke berbagai arah. Belum lagi liang anusku yang kemasukan benda asing ini membuatku jadi ingin mengejan, perutku kembali terasa mulas sekali.
Setelah beberapa saat aku harus berjuang menahan keinginanku untuk mengejan, perlahan rasa sakit pada liang anusku sudah berkurang banyak. Dan ketika rasa sakit itu reda, aku sudah kembali harus melayang dalam kenikmatan.
Hanya 2 menit dalam posisi ini, aku sudah orgasme hebat, namun aku hanya bisa pasrah. Tubuhku hanya bisa bergetar, aku tak bisa bergerak banyak karena semua bagian tubuhku yang harusnya bisa kugerakkan ini semuanya ditahan oleh para pemerkosaku.
Dalam keadaan orgasme seperti ini, mereka tanpa ampun terus bergantian memompaku, membuat orgasmeku tak kunjung reda bahkan akhirnya aku mengalami multi orgasme! Tanpa terkendali lagi, aku mengejang hebat susul menyusul, dan cairan cintaku keluar berulang ulang, sangat banyak mengiringi multi orgasmeku yang sampai lebih dari 2 menit.
Tanganku yang menumpu pada genggaman tangan Girno bergetar getar. Sementara Soleh membelai rambutku dan Urip meremas remas payudaraku dari belakang.
Sungguh, aku tak kuasa menyangkal, kenikmatan yang aku alami sekarang ini benar benar dahsyat, belum pernah sebelumnya aku merasakan yang seperti ini. Aku memang pernah bermasturbasi sampai merasakan orgasme yang nikmat. Namun orgasme dalam keadaan liang vagina tertancap penis seperti ini benar benar membuatku melayang.
Mereka terus menggenjot tubuhku. Desahan yang terdengar hanya desahan mereka, karena aku tak mampu mengeluarkan suara selama penis Soleh mengaduk aduk tenggorokanku. Entah sudah berapa kali aku mengalami orgasme, sampai akhirnya kurasakan tubuh Girno bergetar dan menggigil.
“Hegh… hu… huoooooooh…”, Girno melenguh, penisnya berkedut, kemudian spermanya yang hangat menyemprot berulang ulang dalam liang vaginaku, diiringi dengan keluarnya cairan cintaku untuk yang ke sekian kalinya.
Akhirnya Girno orgasme juga bersamaan denganku, dan penisnya sedikit melembek, dan terus melembek sampai akhirnya cukup untuk membuat cairan merah muda meluber keluar dengan deras dari sela sela mulut vaginaku, yang merupakan campuran darah perawanku, cairan cintaku dan sperma Girno.
“Oh… enake rek, memek amoy seng sek perawan…” kata Girno, yang tampak amat puas, entah puas karena berhasil memperawaniku, atau puas menikmati sempitnya liang vaginaku.
Nafasku sudah tersengal sengal. Untungnya, Urip dan Soleh cukup pengertian. Urip mencabut penisnya dari liang anusku, dan Soleh tak memaksaku mengulum penisnya yang terlepas ketika aku yang sudah begitu lemas karena kelelahan, ambruk menindih Girno yang masih belum juga melepaskan penisnya yang masih terasa begitu besar untukku.
-x-
VI. Tenggelam Dalam Nikmat Pesta Seks
Kini aku mulai sadar dari gairah nafsu birahi yang menghantamku selama hampir satu jam ini. Namun aku tidak menangis. Tak ada keinginan untuk itu, karena sejujurnya aku tadi amat menikmati perlakuan mereka, bahkan gilanya, aku menginginkan diriku dijadikan obyek pesta seks lagi seperti tadi. Apalagi mereka cukup lembut dan pengertian, tidak sekasar yang aku bayangkan.
Mereka benar benar menepati janji untuk tidak melukaiku dan menyakitiku seperti menampar pipiku ataupun menjambak rambutku. Bahkan Girno memelukku dan membelai rambutku dengan mesra, setidaknya menurut perasaanku, sehingga membuatku semakin pasrah dan hanyut dalam pelukannya.
Apalagi yang lain kembali mengerubutiku, membelai sekujur tubuhku seolah ingin menikmati tiap senti kulit tubuhku yang putih mulis ini. Entah kenapa aku merasa aku rela melayani mereka berenam ini untuk seterusnya, membuatku terkejut dalam hati.
Hah? Apa yang baru saja aku pikirkan? Aku ini kan diperkosa, kok aku malah berpikir seperti itu? Tapi tak bisa kupungkiri, tadi itu benar benar nikmat, belum pernah aku merasakan orgasme yang senikmat itu ketika aku bermasturbasi.
Lagian, apakah ini masih bisa disebut perkosaan? Selain aku pasrah melayani apa mau mereka, aku juga menikmatinya, bahkan sampai orgasme berkali kali.
Lamunanku terputus saat Girno mengangkat tubuhku hingga penisnya yang sudah mengecil terlepas dari vaginaku, dan ia menyingkir membiarkan Soleh mengambil gilirannya.
“Non, kita lanjutin ya”, kata Soleh yang sudah tiduran di sela kakiku yang sedikit mengkangkang.
Aku hanya menurut saja dan menaiki penisnya yang tegak mengacung itu. Soleh memegang dan membimbing penis itu menempel pada bibir vaginaku. Sekali ini, tanpa paksaan sedikitpun, malah aku yang berinisiatif menurunkan badanku, hingga perlahan penis itu tertelan dalam liang vaginaku.
“Ooh… aaah….”, erang Soleh ketika penisnya mulai melesak ke dalam vaginaku.
Memang lebih mudah dari punya Girno tadi, karena diameter penis si Soleh lebih kecil. Namun tetap saja, panjangnya yang tidak selisih banyak dengan milik Girno tadi membuatku kelabakan.
“Ooh… aduuuuh…”, erangku panjang seiring makin menancapnya penis Soleh hingga amblas sepenuhnya dalam vaginaku.
Penisnya terasa hangat, lebih hangat dari punya si Girno yang kini duduk di kursi tengah ruang ini sambil merokok. Mereka memberiku kesempatan untuk bernafas sejenak, kemudian Urip mendorongku hingga aku kembali telungkup, kali ini menindih Soleh yang langsung mengambil kesempatan itu untuk melumat bibirku. Baru aku sadar, Soleh ini pasti tinggi sekali.
Rupanya si Urip belum puas dan ingin melanjutkan aksi sodominya terhadapku. Kembali aku disandwich seperti tadi. Namun kali ini aku lebih siap. Aku melebarkan kakiku hingga semakin mengkangkang seperti kodok, dan perlahan tapi pasti, liang anusku kembali ditembus penis Urip yang amat keras ini, membuat kedua liang di selangkangan tubuhku ini kembali terasa sesak.
Walaupun memang tidak sesesak tadi, rasa mulas dan ingin mengejan itu langsung kembali lagi menyiksa tubuhku, membuatku merintih dan mengerang, antara pedih dan nikmat. Beberapa kali aku harus menahan nafas karena kesakitan.
Kini Hadi dan Yoyok ikut mengepungku. Mereka masing masing memegang tangan kiri dan kananku, mengarahkanku untuk menggenggam penis mereka dan mengocoknya. Selagi aku mulai mengocok dua buah penis itu, pak Edy mengambil posisi di depanku, kelihatannya ia ingin memintaku untuk mengoral penisnya.
“Dioral sekalian Eliza, daripada nganggur nih”, katanya dengan senyum yang memuakkan.
Tapi aku terpaksa menurutinya daripada nanti ia berbuat atau mengancam yang macam macam. Kubuka mulutku walaupun dengan setengah hati, membiarkan penis pak Edy yang berukuran kecil ini masuk dalam kulumanku.
Jadi kini aku digempur lima orang sekaligus, yang entah mengapa justru membuat gairahku naik tak karuan. Apalagi Soleh dan Urip makin bersemangat menggenjot selangkanganku, benar benar dengan cepat membawaku orgasme lagi.
“Eemmph….”, erangku keenakan.
Tubuhku mengejang, dan kurasakan cairan cintaku keluar, melumasi vaginaku yang terus dipompa Soleh yang kulihat sedang merem melek keenakan. Tiba tiba penis pak Edy berkedut dalam mulutku, dan tanpa ampun spermanya muncrat membasahi kerongkonganku.
Baru kali ini aku merasakan sperma dalam mulutku, rasanya aneh, asin dan asam. Mungkin karena sudah beberapa kali melihat film biru, tanpa disuruh pun aku sudah tahu tugasku. Kubersihkan penis pak Edy dengan kukulum, kujilati, dan kusedot sedot sampai tidak ada sperma yang tertinggal di penis yang kecil itu, sementara itu pak Edy melolong lolong keenakan.
“Lho pak, kok sudah keluar? Masa kalah sama sepongannya non Eliza? Bagaimana nanti sama memeknya? Seret banget lho pak”, kata Soleh dengan nada sedikit mengejek, disambung tawa para lelaki bejat di ruang ini.
Pak Edy terlihat tersenyum malu, dan tak berkata apa apa, hanya duduk di sebelah si Girno. Aku juga tertawa dalam hati, namun ada bagusnya juga, kini tugasku menjadi sedikit lebih ringan.
Hadi yang juga ingin merasakan penisnya kuoral, pindah posisi ke depanku, dan mengarahkan penisnya ke mulutku. Aku mengulum penis itu tanpa penolakan, dan kocokan tangan kananku pada penis Yoyok kupercepat, aku seakan sedang berlomba mengimbangi cepatnya sodokan demi sodokan penis Soleh dan Urip yang semakin gencar menghajar vagina dan anusku.
“Ouuggghh….”, Urip tiba tiba mendengus dengus dan melolong panjang seiring berkedutnya penisnya dalam liang anusku.
Penis Urip menyemprotkan spermanya berulang ulang di dalam liang anusku hingga terasa hangat sekali pada liang anusku di bagian terdalam. Perutku kembali sedikit mulas, tapi mulas yang enak sekali.
Kini aku tinggal melayani 3 orang saja, namun entah aku sudah orgasme berapa kali. Aku amat lelah untuk menghitungnya. Dan Yoyok berniat menggantikan Urip membobol anusku. Baru aku sadar, dari genggaman tanganku tadi pada penis Yoyok, aku tahu penis Yoyok tidak panjang, tapi… diameternya itu, rasanya seukuran dengan punya si Girno. Dan celaka… penis itu akan segera menghajar anusku.
“Oooh… ooogh… sakiiiit…”, erangku ketika Yoyok memaksakan penisnya sampai akhirnya masuk.
Namun seperti yang tadi tadi, rasa sakit yang menderaku hanya berlangsung sebentar, dan berganti rasa nikmat luar biasa yang tak bisa dilukiskan dengan kata kata. Aku melenguh lenguh menikmati mulasnya perutku, juga rasa ingin mengejan yang mendera liang anusku. Apalagi liang vaginaku ini semakin ngilu seperti akan copot saja, karena Soleh terus memompa liang vaginaku tanpa ampun.
Aku semakin tersengat birahi ketika Soleh yang ada di bawahku meremas remas payudaraku yang tergantung di depan matanya, sementara Hadi menekan nekankan kepalaku untuk lebih melesakkan penisnya ke kerongkonganku. Di sini aku bisa mengira ngira, ternyata penis si Hadi ini mirip dengan punya Urip dan Soleh.
Dengan pasrah aku terus melayani mereka satu per satu sampai akhirnya mereka orgasme bersamaan. Dimulai dari kedutan penis Soleh dalam vaginaku, tapi tiba tiba penis Hadi berkedut lebih keras dan langsung menyemburkan spermanya yang amat banyak dalam rongga mulutku. Aku gelagapan dan nyaris tersedak, namun aku usahakan semuanya tertelan masuk dalam kerongkonganku.
Selagi aku berusaha menelan semuanya, tiba tiba dari belakang Yoyok menggeram, penisnya juga berkedut, kemudian menyemprotkan sperma berulang ulang dalam liang anusku, diikuti Soleh yang menghunjamkan penisnya dalam dalam sambil berteriak penuh kenikmatan.
“Ooohh… aanggh…”, aku sendiri juga mengerang panjang.
Bersamaan dengan berulang kali menyemprotnya sperma Soleh di dalam vaginaku, aku juga mengalami orgasme hebat. Hadi jatuh terduduk lemas setelah penisnya kubersihkan tuntas seperti punya pak Edy tadi. Lalu Soleh yang penisnya masih menancap di dalam vaginaku memelukku erat dan kembali melumat bibirku dengan ganas, sampai aku tersengal sengal kehabisan nafas.
Yoyok yang penisnya tak terlalu panjang hingga sudah terlepas dari anusku, juga duduk bersandar di dinding. Liang anusku langsung terasa lega dan nyaman, dan sekarang ini tinggal aku dan Soleh yang ada di atas ranjang.
Kami terus bergumul dengan panas. Soleh membalik posisi kami hingga aku telentang di ranjang ditindihnya, dan penisnya tetap masih menancap dalam vaginaku meskipun mulai lembek, mungkin dikarenakan penis Soleh yang panjang.
Tanpa sadar, kakiku melingkari pinggangnya Soleh, seakan tak ingin penisnya terlepas, dan aku balas melumat bibir si Soleh ini.
Mungkin pergumulan kami yang panas menyebabkan birahi Girno terbakar. Aku sempat melihat penis raksasa itu mengacung kembali, seolah menandakan tenaganya yang sudah pulih setelah tadi sudah sempat berejakulasi.
Namun ia dengan sabar membiarkan aku dan Soleh yang bergumul dengan penuh nafsu. Namun penis Soleh yang semakin mengecil itu akhirnya tidak lagi tertahan erat dalam vaginaku, dan Soleh pun tampaknya tahu diri untuk memberikanku kepada yang lain yang sudah siap kembali untuk menggenjotku.
Girno segera menyergap dan menindihku, tanpa memberiku kesempatan bernafas, dengan penuh nafsu ia segera menjejalkan penisnya yang amat besar itu ke dalam vaginaku. Aku terbeliak, merasakan kembali sesaknya vaginaku.
Girno yang sudah terbakar nafsu ini mulai memompa vaginaku dengan ganas, membuat tubuhku kembali bergetar getar sementara aku mendesah dan merintih merasakan nikmat berkepanjangan ini.
Gilanya, aku ingin Girno bersikap lebih liar. Aku malah mencoba menggoda Girno dengan pura pura ingin menahan sodokan penisnya dengan cara menahan bagian bawah tubuhnya.
Benar saja, dengan tatapan garang ia mencengkram dan menekan kedua pergelangan tanganku di atas ranjang tempat aku dibantai ini, membuatku tak berdaya. Dan sodokan demi sodokan penis Girno yang menghajar vaginaku terasa semakin keras.
Aku bahkan nekat menatap Girno dengan pandangan sayu memelas untuk lebih menggodanya lagi, dan ternyata memang berhasil. Dengan nafas memburu, Girno melumat bibirku seolah tak ingin bibirku terlepas dari pagutannya. sambil terus memompa vaginaku.
Kini aku yang gelagapan. Orgasme yang menderaku membuat tubuhku bergetar hebat, tapi aku tak berdaya melepaskan ledakan birahiku karena seluruh gerakan tubuhku terkunci. Bahkan untuk melenguh pun aku tidak bisa karena Girno masih saja melmat bibirku.
Aku hanya bisa diam dan pasrah menikmati semua ini, hingga akhirnya aku mendengar Girno menggeram nggeram. Semprotan sperma yang cukup banyak kembali membasahi liang vaginaku.
Girno melepaskan cengkramannya pada kedua pergelangan tanganku, namun aku sudah terlalu lelah dan lemas untuk menggerakkannya. Ia turun dari ranjang, setelah melumat bibirku dengan ganas, lalu memberi kesempatan pada pak Edy yang penisnya sudah ereksi kembali.
Kali ini, ia terlihat lebih gembira, karena mendapatkan jatah liang vaginaku, yang kelihatannya sudah ditunggunya sejak tadi. Dengan tersenyum senang, yang bagiku memuakkan, ia mulai menggesekkan kepala penisnya ke vaginaku yang sudah banjir cairan sperma bercampur cairan cintaku.
Tanpa kesulitan yang berarti, wali kelasku ini sudah melesakkan penisnya seluruhnya, membelah dinding liang vaginaku yang licin ini.
Aku sedikit mendesah ketika ia mulai memompa vaginaku. Namun lagi lagi seperti tadi, belum ada 3 menit, pak Edy sudah mulai menggeram, kemudian tanpa mampu menahan lagi ia menyemprotkan spermanya ke dalam liang vaginaku.
Yang lain kembali menertawakan pak Edy, sedangkan aku yang belum terpuaskan dalam ‘sesi’ ini, memandang yang lain, terutama Hadi yang belum sempat merasakan selangkanganku.
Hadi yang seolah mengerti, segera mendekatiku. Terlebih dulu ia mencium bibirku dengan gaya yang dimesra mesrakan, membuatku sedikit geli namun cukup terangsang juga.
Tak lama kemudian, Hadi sudah siap dengan kepala penis yang menempel di vaginaku, lalu mulai melesakkan penisnya dalam dalam. Ia terlihat menikmati hal ini, sementara aku sedikit mengejang menahan sakit karena Hadi cukup terburu buru dalam proses penetrasi ini.
Selagi kami dalam proses menyatu, yang lain sedang mengejek pak Edy yang terlalu cepat keluar. Ingin aku menambahkan, penisnya agak sedikit lembek. Tapi aku menahan diri dan diam saja, karena aku tak ingin terlihat murahan di depan mereka.
Hadi mulai memompa vaginaku. Rasa nikmat kembali menjalari tubuhku. Pinggangku bergerak gerak dan pantatku sedikit terangkat, seolah menggambarkan aku yang sedang mencari kenikmatan. Selagi aku dan Hadi sudah mulai menemukan ritme yang pas, aku melihat yang lain yaitu Yoyok dan Urip akan pergi keluar dari ruangan ini.
“Nanti kasihan non Eliza, kalo memeknya yang bersih jadi kotor kalo kontolku tidak aku cuci”, kata Urip ketika akan keluar.
“Iya, juga, kan kasihan, amoy cakep cakep gini harus ngemut kontol yang kotor seperti ini”, sambung Yoyok.
Oh, ternyata mereka begitu pengertian padaku. Aku jadi semakin senang, dan menyerahkan tubuhku ini seutuhnya pada mereka. Kulayani Hadi dengan sepenuh hati, setiap tusukan penisnya kusambut dengan menaikkan pantatku hingga penis itu bersarang semakin dalam, memberikan nikmat yang amat sangat.
Tanpa ampun lagi, tak sampai lima menit kemudian aku orgasme disusul Hadi yang menembakkan spermanya dalam liang vaginaku, bersamaan dengan kembalinya Yoyok dan Urip.
Namun mereka berdua ini tak langsung menggarapku. Setelah Hadi terduduk lemas di bawah, mereka berdua mengerubutiku, tapi hanya membelai sekujur tubuhku, memberiku kesempatan untuk beristirahat setelah orgasme barusan.
Mereka berdua menyusu pada payudaraku, sambil meremas kecil, membuatku mendesah tak karuan. Kini jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tak terasa sudah satu jam aku melayani nafsu enam lelaki ini.
Dalam keadaan lelah, aku minta waktu sebentar pada Urip dan Yoyok untuk minum. Keringat yang mengucur deras sejak tadi membuatku haus.
“Sebentar bapak bapak, saya mau minum dulu ya”, kataku.
Kebetulan di tasku ada sekitar setengah botol air Aqua, sisa minuman yang tadi sore, tapi aku langsung teringat, minuman itu dicampur obat cuci perut yang mengantarku ke horor di ruang UKS ini.
“Pak Girno. Saya haus… tapi air minum saya tadi itu sudah bapak campurin obat cuci perut kan? Tolong pak, belikan saya minuman dulu. Jangan dicampurin apa apa lagi ya pak”, kataku sambil akan turun dari ranjang untuk mencari uang dalam dompet yang ada di dalam tas sekolahku.
“Tidak usah non. Saya belikan saja, sekalian sebagai hadiah untuk non”, kata Girno menolak.
Dalam hati aku menggerutu, air aqua sebotol saja dikatakan hadiah. Tapi aku diam saja.
Girno pergi ke WC sebentar untuk mencuci penisnya, kemudian kembali dan mengenakan celana dalam dan celana panjangnya saja. Lalu ia keluar untuk membeli air minum untukku.
Sambil menunggu, yang lain menggodaku, merayuku betapa cantiknya aku, betapa putih mulusnya kulit tiubuhku yang indah dan sebagainya. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi itu semua.
Tak lama kemudian, Girno kembali sambil membawa sebotol Aqua, yang ternyata segelnya sudah terbuka.
“Pak, masa bapak tega mencampuri air minum ini lagi? Nanti kan saya mulas mulas lagi?”, aku menatap Girno dengan curiga, dan bertanya dengan ketus.
“Nggak non. Masa lagi enak enak gini saya pingin non bolak balik ke WC lagi. Ini cuma supaya non Eliza gak terlalu capek. Buat tambah tenaga non”, jawab Girno sambil tersenyum senyum.
Yah, pokoknya bukan obat cuci perut, aku akhirnya meminumnya sampai setengahnya, karena aku sudah semakin kehausan. Tak lupa aku mengambil botol sisa air minum yang tadi di dalam tasku, dan membuangnya ke tong sampah di ruang ini. Aku tak mau sampai salah minum dan kemudian menderita di toilet seperti tadi.
-x-
VII. Diperparah Obat Perangsang
Kemudian aku kembali ke ranjang, menuntaskan tugasku melayani Urip dan Yoyok. Tiba tiba aku merasa aneh, tubuhku terasa panas terutama wajahku, keringat kembali bercucuran di sekujur tubuhku.Padahal mereka belum menyentuhku.
Aku langsung tersadar, ini pasti ada obat perangsang yang dicampurkan dalam minuman yang tadi dibelikan oleh Girno.
Sialan deh, aku kini semakin terperangkap dalam cengkeraman mereka. Urip dan Yoyok bergantian memompa vagina dan mulutku. Permainan ini dilanjutkan kembali. Urip melesakkan penisnya dalam vaginaku, sementara Yoyok memintaku mengoral penisnya.
Mungkin karena obat perangsang itu, aku sendiri menginginkan kenikmatan ini tidak pernah berhenti menghinggapiku, bahkan sebentar sebentar aku mengalami orgasme. Dan gilanya, tiap aku orgasme mereka berdua bertukar posisi, membuatku semakin larut dalam permainan ini.
Rasa sperma dari banyak orang, bercampur cairan cintaku, kurasakan ketika mengoral penis mereka, membuatku semakin liar. Aku menggeliat keenakan saat mereka berejakulasi hampir bersamaan, Yoyok di vaginaku dan Urip di tenggorokanku. Sedangkan aku sendiri kembali harus menyerah diantar menuju orgasmeku.
Ada satu menit lamanya, tubuhku terlonjak lonjak hingga pantatku terangkat angkat, kakiku melejang lejang sementara tanganku menggengam sprei yang sudah basah dan awut awutan. Aku melenguh panjang, kemudian roboh telentang pasrah, dalam keadaan masih terbakar nafsu birahi.
Tapi kelelahan dan nafasku yang tersengal sengal membuatku hanya bisa memejamkan mata menikmati getaran pada sekujur tubuhku. Kemudian bergantian mereka terus menikmati tubuhku. Liang vaginaku ini tak henti hentinya diaduk aduk oleh penis demi penis yang selalu ada penggantinya setiap pemerkosaku berejakulasi.
Aku sudah setengah tak sadar kerena terbakar nafsu birahi yang amat hebat, melayani dan melayani mereka semua tanpa bisa mengontrol diriku. Akhirnya mereka sudah selesai menikmati tubuhku ketika jam menunjukan pukul sepuluh kurang seperempat.
-x-
VIII. Pulang Dari Pesta Seks
Mereka membiarkanku istirahat hingga staminaku sedikit pulih. Aku bangkit berdiri dan melap tubuhku yang basah kuyup oleh keringat ini dengan sehelai handuk yang mereka berikan, sekaligus membersihkan selangkangan dan pahaku yang belepotan sperma.
Aku tertegun melihat Girno sudah membawa sebuah roti hot dog yang panjang. Dengan nakal Girno melesakkan roti hot dog itu ke dalam vaginaku. Aku mendesah dan memandangnya dengan memelas sekaligus penuh tanda tanya.
Tapi Girno hanya cengengesan sambil terus melesakkan roti itu sedalam dalamnya, sedangkan aku menggeliat perlahan ketika roti itu menbuat liang vaginaku terasa sesak. Lalu ia memakaikan celana dalamku, hingga roti itu semakin tertekan oleh celana dalamku dan menyiksa liang vaginaku.
Aku melenguh nikmat, dan mereka berebut memakaikan braku. Tanganku direntangkan, dan mereka menutup kedua payudaraku dengan cup braku, memasang kaitannya di belakang punggungku. Lalu setelah memakaikan seragam sekolah dan rokku, mereka melingkariku yang duduk di atas ranjang dan sedang mengenakan kaus kaki dan sepatu sekolahku.
Kemudian aku menatap mereka semua, siap mendengarkan ancaman kalo tidak boleh bilang siapa siapa lah… ah, kalo itu sih nggak usah mereka mengancam, memangnya aku sampai tak punya malu sehingga menceritakan bagaimana aku yang asalnya diperkosa kemudian melayani mereka sepenuh hati seperti yang tadi aku lakukan??
Dan tentang kalo mereka ingin memperkosaku lagi di lain waktu, aku juga sudah pasrah, bahkan hati kecilku seperti mengatakan aku suka dan rela diperkosa habis habisan oleh mereka seperti tadi.
“Non Eliza, kami puas dengan pelayanan non barusan. Tapi tentu saja kami masih menginginkan non melayani kami untuk berikut berikutnya”, kata Girno.
“Apa maksud bapak?”, tanyaku pura pura tak mengerti.
“Non tentu sudah mengerti, kami masih inginkan servis non di lain hari. Kebetulan, di minggu depan hari kamis tu kan hari terima rapor semester tiga. Dan sejak tanggal dua puluh empat kan sekolah libur, maka kami ingin hari itu non Eliza datang ke sini… jam tujuh malam… untuk melayani kami lagi. Seperti hari ini, non cukup melayani kami dua jam saja”, jelas Girno.
Aku memandang Girno dengan perasaan yang campur aduk, menyadari aku akan jadi budak seksnya.
“Soal pertemuan berikutnya, kita bisa atur lagi nanti tanggal dua puluh empat itu. Yang pasti non Eliza harus datang, karena kalo tidak wali kelas non bisa memberikan sanksi tegas. Iya kan pak Edy?” tambah Girno, dengan nada yang sangat mengintimidasi diriku.
“Benar Eliza. Bapak bisa membuatmu tidak naik kelas, dengan alasan yang bisa bapak cari cari. Jadi sebaiknya kamu jangan macam macam, apalagi sampai melaporkan hal ini ke orang lain. Lagipula, bapak yakin kamu cukup cerdas untuk tak melakukan hal bodoh seperti itu” kata pak Edy.
Mendengar semuanya ini, aku hanya bisa mengangguk pasrah. Oh Tuhan, setelah menerima raport minggu depan, aku harus menyerahkan diri untuk digilir oleh enam lelaki yang ada di sekitarku ini. Dan aku tak bisa menolak sama sekali. Setelah semua beres, aku diijinkan pulang.
Dalam keadaan loyo, aku berjalan tertatih tatih ke arah mobilku. Selain sakit yang mendera selangkanganku akibat baru saja diperawani dan diperkosa ramai ramai, roti yang menancap pada liang vaginaku sekarang ini membuatku merasa liang vaginaku seperti sedang diperkosa oleh roti itu selagi aku terus berjalan, dan akibatnya aku tak bisa berjalan dengan wajar.
Untungnya tak ada orang yang melihatku dalam keadaan seperti ini. Kalau saja ada gerombolan lelaki yang melihatku dengan penampilan seperti ini, dimana rambutku kusut masai menghiasi wajahku yang sayu kelelahan setelah ngeseks dua jam dengan enam lelaki, serta cara berjalanku yang terlihat menahan sakit, bisa bisa aku disergap dan dipaksa melayani nafsu mereka dahulu.
Akhirnya aku sampai ke dalam mobil. Sebenarnya aku ingin melepaskan roti yang sedang memperkosaku ini, tapi harus kuakui rasanya enak juga kalau vaginaku terganjal roti itu sepanjang perjalanan pulang nanti. Dan aku pikir lebih baik aku cepat pulang saja daripada aku harus mengalami kejadian yang tak kuinginkan.
Aku menyetir sampai ke rumah dengan selamat, sekitar pukul setengah sebelas malam. Aku memencet remote pintu pagar untuk membuka, lalu aku memasukkan mobilku halaman rumah. Setelah memencet remote untuk menutup pintu pagar, aku masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamarku.
Sejak aku menyetir tadi, aku terus memikirkan roti yang sedang asyik menancap di liang vaginaku. Rasa ngilu yang nikmat terus mendera liang vaginaku tak henti hentinya, karena setiap kaki kiriku menginjak kopling mobil, roti ini rasanya begitu mengganjal, menggesek dan mengaduk dinding liang vaginaku.
Kini hal yang sama juga terjadi setiap aku melangkahkan kakiku. Rasanya kamarku begitu jauh, apalagi aku harus naik tangga, karena kamarku memang ada di lantai 2. Tiap anak tangga yang kudaki ini hanya menambah siksaaan kenikmatan yang kurasakan dalam liang vaginaku ini.
Akhirnya aku sampai ke kamarku. Di sana aku buka semua bajuku, lalu pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku, mencabut roti yang ternyata sudah sedikit hancur, mungkin karena sudah terlalu lama menyerap campuran sperma para pemerkosaku dan tentunya cairan cintaku sendiri yang memang rasanya tak berhenti keluar sejak roti itu mengisi liang vaginaku.
“Mmhh…”, aku merintih nikmat dan liang vaginaku terasa lega, meskipun tubuhku rasanya lemas sekali.
Aku menyemprotkan air shower ke liang vaginaku untuk membersihkan sisa roti yang tertinggal di dalamnya, sambil sedikit mengorek ngorek liang vaginaku ini supaya lebih cepat bersih. Rasa nikmat kembali menjalari tubuhku, namun aku tahu aku harus segera beristirahat.
Maka aku segera mandi keramas sebersih bersihnya, kemudian setelah mengeringkan tubuhku aku memakai baju tidurku yang nyaman, dan merebahkan tubuhku yang sudah amat kelelahan ini di ranjangku yang empuk.
Aku baru teringat kalau aku tidak mengenakan bra, tapi aku sudah terlalu malas bangun lagi hanya untuk mengenakan bra. Dan akhirnya aku bisa tertidur pulas, setelah berhasil mengusir bayangan wajah puas orang orang yang tadi memperkosaku ramai ramai di UKS.