Setiap bulan, setelah gajian, Rian dan dua temannya, Dika dan Lila, memiliki ritual yang sama: merayakan kebebasan dari rutinitas harian mereka. Dalam pencarian pelarian dari tekanan kerja dan kehidupan sehari-hari, mereka menuju ke sebuah tempat pelacuran yang terkenal di kota.
Malam itu dimulai dengan minuman yang mengalir deras, menambah keberanian dan meredakan ketegangan. Dalam atmosfer yang penuh cahaya merah dan musik, mereka menemukan keasyikan dalam kehadiran wanita-wanita yang penuh pesona, masing-masing dengan cerita dan alasan mereka berada di sana. Bagi Rian, pengalaman ini adalah pelampiasan dari stres, sementara Dika berusaha melupakan cinta yang hilang, dan Lila mencari kekuatan dalam pengalamannya.
Di tengah malam yang penuh euforia dan kebebasan, mereka berinteraksi, bercanda, dan melupakan sejenak masalah hidup. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai merenungkan pilihan yang mereka buat. Apakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam pelarian semacam ini? Dengan pikiran yang campur aduk, mereka pulang ke rumah, mempertanyakan arti dari kebebasan dan keintiman yang mereka cari.
“Kau jahat, itu sakit … hiks ….” “Sabar sayang, sedikit lagi.” Pria yang sedang berada di atasku ini terus saja bergerak tanpa henti, dia pikir itu tidak sakit apa? Tapi, demi sesuatu yang kuinginkan akan kulakukan semua permintaannya. Walau aku harus kehilangan kegadisanku dengan sangat keji. “Aku tidak tahan lagi!” katanya sambil memejamkan mata dan meremas seprei yang ada di sampingku. “Jangan lakukan di dalam, aku bisa hamil!” “Tapi, aku sudah tidak tahan lagi.” Sialan! Dia mengeluarkannya di dalam, aku memandangnya, dia tampak lelah, napasnya naik turun sepertiku. Kupandangi wajahnya yang tampan itu. Putih, mulus, sesuai impianku. “Terima kasih,” ucapnya sambil mencium leherku, aku menggeliat kegelian dan dia terus melakukannya sampai menimbulkan banyak tanda di sana. “Hm, setidaknya kau puas!” “Puas! Aku belum puas!” tegasnya sambil melakukan aksinya kembali dengan ganas, aku hanya bisa pasrah pada permainannya saja.
Jika aku menolaknya maka aku akan kehilangan cita-citaku. Lagian dia adalah orang yang aku cintai, memberikan ini kepadanya adalah kewajibanku, sesuai kontrak tubuh yang sudah berlaku. Tubuhku adalah miliknya sedangkan tubuhnya adalah miliknya sendiri. “Setelah aku pulang kerja, kau harus di rumah untuk melayaniku, bungaku,” ucapnya sambil mencium keningku dan bergegas pergi ke kamar mandi. Aku hanya memandangnya. Dia selalu saja bersikap sesuai kemauannya, tanpa memikirkan yang lain. Kasar adalah sikap mutlak di dalam dirinya yang tidak dapat diubah sama sekali. “Akhirnya aku lulus juga!” teriakku sambil tersenyum manis ke arah sahabatku. “Cie, bentar lagi bakal ke Jepang ini,” ucapnya sambil mencolekku sedikit. “Jelaslah, aku tamatan sastra Jepang, biar bisa pergi ke Jepang kan? Biar nikah sama orang Jepang … Hahaha.” Itulah keinginanku dari kecil, bisa bahasa Jepang dan menikah dengan orang Jepang. Tapi semuanya sirna, saat pengusaha dari China datang ke Jepang dan mengambilku untuk bekerja di sana, pemilik perusahaanku setuju dan mengirimku ke China.
Awalnya aku menolak, tapi gajinya lebih besar dari pada kerja di Jepang. Untung saja aku pintar Bahasa Inggris dan ketika SMA aku pernah belajar Bahasa Mandarin. Selama enam bulan, pengusaha dari China itu mengajari aku Bahasa Mandari sampai aku mengerti.
Cukup sadis, aku pikir dia seperti laki-laki yang ada di komik atau n****+ selalu bermain bersama wanita. Tapi, nyatanya ini berbeda jauh, jangankan bermain wanita, pacaran saja tidak pernah. Ets .. aku mengetahuinya dari adiknya yang super cantik dan imut itu. Mereka satu keluarga memang cantik dan tampan. Sudah cukup basa-basinya, aku akan memulai kisahku saat dia merebut milikku dengan sangat sadis. Melebihi menguliti orang dengan pisau yang tidak tajam, rasa sakitnya memang menyakitkan tapi rasa nikmatnya juga sangat nikmat, beda dengan menguliti orang yang cuma terasa sakit saja. ♡♡♡